Selasa, 28 Mei 2013

Surat Cinta Untuk Mereka


            Tepat hari ini, 27 Mei 2013, Mama resmi menyandang title M.Si di belakang namanya. Sebuah pencapaian luar biasa karena memakan waktu yang cukup lama. Akhirnya, beliau terbebas juga dari tekanan yang diberikan oleh teman-temannya yang terus-terusan bertanya, “Kapan lulus?” saat mereka bertemu.

            Kami sekeluarga sudah menantikan moment ini sejak lama. Karena dengan selesainya perjuangan beliau dalam menempuh kuliah S2, maka itu adalah awal beliau akan mulai fokus kembali pada keluarga. Selain bekerja sebagai dosen, beliau juga merupakan ibu rumah tangga yang sangat gigih dan tekun. Melakukan hampir semua tugas rumah tangga sendiri. Mulai dari mencuci, menggosok, memasak, menyapu, mengepel, menyiram tanaman, membuang sampah, membeli bahan-bahan masakan, bahkan tak jarang beliau juga menjemput kakak dan adikku pulang kuliah dan sekolah. Tak akan pernah dapat kutemukan lagi seorang ibu seperti beliau. Aku saja belum tentu bisa seperti itu kelak ketika sudah menjadi seorang ibu.

            Akan tetapi, title itu tak akan dapat diraih beliau tanpa bantuan dari papa. Ya, papa juga memegang peran yang penting dalam kelulusan mama. Untuk semangat dan kepercayaan yang papa berikan untuk mama, tak jarang menjadi suntikan semangat beliau dalam menyelesaikan pendidikan S2nya. Selain itu, bantuan dalam bentuk lain yang tentu saja merupakan pengorbanan besar bagi papa yang juga seorang dosen. Karena hal itu hampir menyita seluruh waktu papa. Atas dasar cinta papa dengan suka rela terus menemani dan berada di samping mama ketika tesis itu digarap.

            Pengorbanan kakak dan adikku juga tak bisa dianggap remeh. Mereka dengan sabar menemani mama ketika mama harus bertemu dosen pembimbingnya untuk mendiskusikan sesuatu. Bahkan terkadang memakan waktu berjam-jam. Mereka dengan sabar menunggu di dalam mobil karena tak mungkin ikut masuk ke dalam. Berpanas-panasan dan terkadang masih dalam keadaan lapar dan capai.

Semua itu dijalani dengan ikhlas karena begitulah yang namanya “keluarga”. Saling mendukung satu sama lain dan saling percaya. Itulah keluargaku. Keluarga yang aku kasihi dan sayangi. Tak akan pernah ada lagi keluarga seperti mereka.

Teruntuk papa, Dr. Drs. Mulyadi, M.Hum. Terima kasih Pa atas segala pengorbanan yang telah engkau berikan untukku. Terima kasih atas butiran-butiran keringat dan tenaga yang telah engkau kerahkan saat bekerja untuk membayar uang kuliah dan segala keperluanku di sini. Aku sadar telah banyak menghabiskan banyak biaya dan aku belum bisa memberikan kebanggaan padamu. Maafkan anakmu ini yang masih saja suka bertingkah layaknya anak kecil. Susah dinasihati, malas belajar, banyak menuntut, dan lain-lain. Aku akan berusaha untuk membalas segala jasa-jasamu, Pa. Love you. Big Hug from Bogor.

Teruntuk mama, Dra. Rumnasari K. Siregar, M.Si. Terima kasih Ma atas taruhan nyawa yang telah engkau lakukan untuk melahirkanku ke dunia ini. Terima kasih karena engkau telah dengan sabar membesarkanku sampai sekarang. Terima kasih karena engkau selalu dengan sabar mendengarkan cerita-cerita konyolku, menghadapi tingkah-tingkah kasarku, memaklumi segala kesalahan yang kuperbuat, dan lain-lain. Maafkan anakmu yang suka memberontak ini, Ma. Maaf karena aku telah memberi beban pada tubuh kecilmu saat mengandungku selama 9 bulan. Maaf karena aku telah merepotkan dan menyusahkanmu saat engkau hendak melahirkanku. Maaf karena aku sering menangis hingga membangunkanmu tengah malam saat aku merasa haus atau merasa tidak nyaman. Maaf karena aku sering berucap kasar dan bertingkah tidak sopan baik sengaja maupun tidak sengaja hingga menyakiti hati lembutmu. Maaf jika sampai saat ini aku belum bisa membahagiakanmu, Ma. Belum bisa memberikan kebanggaan apapun padamu. Maafkan aku, anakmu yang sering engkau ejek gendut. Love you. Big Kiss from Bogor.

Teruntuk kakakku, Liliyana Sari S. Kau tahu, aku sangat merindukanmu, Kakakku. Kakak yang selalu setia menemaniku saat suka maupun duka. Kakak yang dengan lapang dada memaafkan kenakalanku sewaktu kecil, walau aku telah menggores pipi mulusnya hingga berbekas. Kakak yang selalu menjadi pendongengku ketika hendak tidur. Terlalu banyak cerita yang engkau paparkan untukku, Kak. Aku menganggapnya sebagai cerita pengantar tidur (hehe..), tapi aku tetap merasa senang atas segala ceritamu karena itu pertanda engkau telah mempercayaiku. Tanpa kau sadari, kau adalah panutanku dalam hidup ini. Apa yang telah engkau capai dan raih, itu pulalah yang ingin aku capai dan raih. Entah kenapa aku selalu menginginkan apa yang engkau miliki. Terakhir, aku ucapkan terima kasih dan maaf. Terima kasih karena terlahir menjadi kakakku dan maaf karena aku belum bisa menjadi adik yang baik. Love you. Big Miss from Bogor.

Teruntuk adikku, Andika Aulia S. Maafin kakak ya, Dek. Kak Mala belum bisa menjadi kakak yang baik untukmu. Sejak dulu hingga sekarang. Mungkin Dika pernah merasa menyesal telah menjadi adik Kak Mala. Entah berapa kali Kak Mala buat Dika menangis sewaktu Dika kecil dulu. Entah berapa luka yang telah Kak Mala gores baik di kulit maupun hati Dika. Akan tetapi, jauh di lubuk hati Kak Mala, Dika adalah adik Kak Mala satu-satunya dan akan terus menjadi yang satu-satunya yang Kak Mala sayangi. Banyak kisah yang telah kita lalui berdua. Mulai dari bermain PS, berbagi komik, berebut makanan, berargumen, berantem secara fisik atau psikis, dan lain-lain. Terima kasih karena masih menganggap Kak Mala sebagai Kakaknya Dika. Love you. Big Sorry from Bogor.

Nurmala Fitri S.


Jumat, 24 Mei 2013

My Little Journey


            Untuk pertama kalinya aku diizinkan kedua orang tuaku untuk ikut acara yang mengharuskanku menginap. Makrab. Ya, aku diperbolehkan ikut makrab kelas beberapa waktu yang lalu. Padahal sebelumnya aku tak pernah diizinkan untuk ikut acara sejenis itu. Bahkan aku tak mendapat izin untuk ikut perpisahan sekolah SMP dan SMA dan perpisahan kelas SMA. Terlalu banyak hal yang kulewatkan sewaktu bersekolah dulu.

            Ikut organisasi saja aku tak dibolehkan, alasannya takut menganggu pelajaran sekolah. Selain itu memang jadwal lesku selalu gila-gilaan. Mulai dari masih berseragam merah-putih, hampir tidak ada hari aku bisa bersantai dan bermain. Bimbel, les bahasa Inggris, dan ngaji. Semua kulalui hingga aku berseragam putih-biru.

            Selepas SD, aku masih mengikuti bimbel dan les bahasa Inggris. Aku mendapat sedikit keringanan waktu SMP. Setidaknya aku masih bisa ikut ekskul voli, main basket sepulang sekolah, berperan sebagai kapten dan bek tim sepak bola putri kelas, bahkan menjadi salah satu anggota mading OSIS. Hari-hari kulalui dengan segala kesibukan. Masih belum bisa menikmati waktu luang, tapi kali ini tak mengapa karena aku melakukan hal-hal yang aku sukai.

            Hingga kuinjakkan kakiku di SMA Negeri 2 Medan. Saat berseragam putih abu-abu, aku pasif. Tak menjadi apa-apa, hanya sebagai siswi SMA biasa. Waktu tiga tahun pun terlewati tanpa terasa, waktu-waktu dalam pencarian jati diri.

            Tibalah saatnya aku melepas seragam karena aku resmi menjadi seorang mahasiswi di Institut Pertanian Bogor. Awalnya berat meninggalkan kota Medan yang telah membesarkanku selama 18 tahun lamanya. Pertama kali menginjakkan kaki di Bogor, semua terasa asing. Lingkungan, cuaca, serta orang-orangnya. Hingga akhirnya, aku mampu beradaptasi di kota hujan ini.

            Hari-hari kulalui menjadi seorang mahasiswi. Melewati masa matrikulasi selama sebulan penuh dan mengharuskanku berpuasa tanpa keluarga untuk pertama kalinya. Makan nasi dingin saat sahur dan antri beli makan saat buka puasa. Moment yang tak akan pernah kurasakan jika aku tak pergi merantau.

            Waktu semester satu, aku pernah mendaftar jadi anggota BEM TPB. Saat kedua orang tuaku tahu mereka sedikit menentangnya. Walau akhirnya mengizinkan, tapi toh ternyata aku gagal di sesi interview. Melupakan sedikit rasa sakit karena gagal untuk mengembangkan soft skillku, saat ini di semester dua, aku kembali mendaftar sebagai panitia Jurnalistik Fair 2013. Aku berusaha maksimal saat sesi interview. Kedua orang tuaku belum kuberi tahu perihal ini, sesaat setelah aku selesai melakukan interview barulah mereka kuberi tahu. Tanpa kuduga ternyata mereka mendukungku, mungkin karena berbau jurnalistik. Kedua orang tuaku seorang dosen sastra, tak heran kalau mereka memberi lampu hijau padaku. Bahkan mereka mendoakanku semoga diterima. Tak pelak lagi aku lulus jadi panitia. Doa orang tua benar-benar makbul. Aku senang karena akhirnya kedua orang tuaku mempercayaiku bahwa aku mampu memanage waktu dan menjaga diri. Buktinya mereka mengizinkanku ikut makrab dan ikut kepanitiaan.

            Semoga kepercayaan mereka bisa kupertanggungjawabkan nantinya dan semoga aku bisa terus mengembangkan soft skillku karena itu adalah modal penting saat bekerja kelak.

Surprise Party for Eriyanti Pratiwi


            Tepat dua hari yang lalu, temanku, Eri, berulang tahun yang ke-19 tahun. Beberapa hari sebelumnya, aku dan Bunga sudah merencanakan sesuatu untuk mengerjainya. Niat awal sih mau ngerjain dia habis-habisan dengan telur, tepung, kopi, dan air. Sayangnya niat jahat kami tak bisa terlaksana disebabkan oleh adanya perubahan lokasi kerja kelompok yang sudah kami berdua atur. Ya, awalnya kami berniat mau mengerjainya di A5, asrama Eri sendiri, tapi ternyata Eri malah meminta untuk kerja kelompok di LSI. Memang niat terselubung kami ini ditutupi oleh ide “kerja kelompok”, agar dia tidak terlalu curiga saat kami ajak main.

            Karena lokasi LSI cukup jauh, aku jadi malas untuk ke sana. Akhirnya kuputuskan untuk kerja kelompok di kamarku saja. Toh, di A3 masih bisa untuk mengerjainya. Bunga memberi ide untuk menyiramnya saja dengan air. Akan tetapi, masalahnya Eri tidak bawa baju ganti. Berhubung lokasi aksi kami di dekat kamarku, akhirnya kuputuskan untuk meminjamkan Eri bajuku asalkan ide kami ini tetap terlaksana.

            Tibalah waktunya setelah acara tiup lilin yang lilinnya susah banget untuk mati dan makan kue, Bunga pun pamit pulang. Dia pamit karena hendak pergi dengan teman prianya. Aku tanya Bunga dengan tidak mengeluarkan suara sama sekali saat Eri sedang tidak memerhatikan kami berdua, “Ngerjainnya jadi gak?” kutanya dia sambil melirik ke arah Eri.

            Bunga mengangguk dan langsung berkata, “Anterin aku yok sampai depan tangga.” Kebetulan kamarku memang berada di lantai dua dan untungnya harus melewati deretan kamar mandi baik di sisi kiri maupun kanan saat mau keluar asrama. Tanpa rasa curiga Eri dan Suci mengikuti Bunga keluar. Aku berada paling belakang karena harus menutup jendela dan pintu kamarku. Harus tetap waspada di situasi atau kondisi apapun.

            Akhirnya, sampailah kami di depan kamar mandi. Bunga berhenti dan langsung menarik Eri ke sisi kiri. Aku yang mengikuti dari belakang langsung merebut handphone yang sedang digenggamnya. Suci terdiam memerhatikan kami. Aku mengalami sedikit kesulitan saat merebut handphone Eri karena dia menggenggamnya dengan sangat erat. Berharap kami membatalkan niat jahat kami jika dia tetap menggenggam handphonenya. Sayangnya, aku berhasil merebut handphone tersebut dan Bunga juga berhasil memerciki Eri dengan air dari gayung.

            Eri sudah cukup basah saat dia berhasil kabur dari cengkeramanku. Aku langsung berlari mengejarnya, begitu juga dengan Bunga. Hanya Suci yang tak bergerak dari posisinya semula, tak tega mungkin. Aku dan Bunga berderap mengejar Eri yang hendak masuk ke kamarku. Kami menggeretnya dan kali ini Bunga tak lagi memercikinya, melainkan menyiramkan seluruh isi gayung ke arah Eri.

            Sialnya, Eri berlindung di belakangku. Jadilah aku ikut basah. Entah berapa gayung yang Bunga siramkan ke arah Eri, yang pasti Eri terus berlindung dan berusaha memelukku. Dasar Bunga, ketika dia melihat Eri sudah basah kuyup, dia kabur begitu saja. Meninggalkan Eri yang masih berusaha memelukku agar aku ikut basah.

            Setelah puas tertawa bersama Suci, aku masuk ke kamar dan mengambilkan baju ganti untuk Eri. Setelah menemukan baju yang cocok untuknya, aku kembali ke kamar mandi dan menemukan dia sedang memeras jilbabnya. Bahkan jilbabnya saja bisa diperas ckck (berdecak).

            Entah siapa lagi korban selanjutnya.

Selasa, 14 Mei 2013

Build Your Better Future With "ESL"



            Apa itu ESL?

            ESL merupakan singkatan dari Ekonomi Sumber daya dan Lingkungan. Termasuk salah satu departemen di Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor. Mungkin masih banyak orang yang tidak tahu perihal departemen ini, baik mata kuliah apa saja yang akan dipelajari maupun prospek ke depannya.

            ESL merupakan departemen atau jurusan pertama dan satu-satunya di Indonesia yang mempelajari ilmu ekonomi terkait dengan permasalahan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan. Istilahnyapioneer.

            Latar belakang didirikannya ESL karena sudah banyak masalah lingkungan  yang terjadi di dunia. Masalah-masalah lingkungan ini termasuk penggunaan sumber daya alam yang berlebihan dan terkesan mengeksploitasi, penebangan hutan secara liar, dan lahan yang kosong dijadikan sebagai perumahan atau industri perkantoran.

            ESL menganut asas Green Economy. Green economy adalah sebuah rezim ekonomi yang meningkatkan kesejahteraan manusia dan kesetaraan sosial, sekaligus mengurangi risiko lingkungan secara signifikan. Green economy juga berarti perekonomian yang rendah atau tidak menghasilkan emisi karbon dioksida dan polusi lingkungan, hemat sumber daya alam dan berkeadilan sosial.

            Mata kuliah mayor ESL adalah ekonomi pertanian, ekonomi sumber daya, dan ekonomi lingkungan. Secara garis besar, ESL mempelajari bagaimana menggunakan sumber daya alam secara efektif dan efisien sehingga dapat memenuhi seluruh kebutuhan manusia tanpa harus merusak lingkungan. Baik sumber daya alam yang dapat diperbaharui maupun yang tidak.

            Intinya sih, departemen ESL bertujuan untuk membentuk moral generasi muda untuk lebih mencintai lingkungan, menghasilkan generasi muda yang lebih peduli terhadap lingkungan, dan menjembatani generasi muda untuk mencari jalan keluar dalam permasalahan pelik yang sedang dihadapi oleh dunia, yaitu global warming.

Sumber: esl.fem.ipb.ac.id dan wikipedia

Rabu, 08 Mei 2013

Keluarga itu...


          Mereka bilang keluarga itu adalah tempat kita berteduh di kala terik maupun hujan. Mereka bilang keluarga itu adalah tempat kita bernaung baik siang maupun malam. Mereka bilang keluarga itu akan selalu ada di saat kita membutuhkan mereka.

          Nyatanya tidak selalu. Buktinya saat ini.

          Aku terlahir sebagai anak kedua dari tiga bersaudara. Mempunyai seorang adik laki-laki yang sangat dimanja oleh kedua orang tuaku dan seorang kakak perempuan yang selalu menjadi kebanggaan keluarga. Sedangkan aku, hanya seorang anak perempuan biasa yang memiliki paras biasa dan kemampuan biasa. Tak ada yang istimewa.

          Mungkin karena ke-biasa-anku itulah yang membuat banyak orang tidak mengakui eksistensiku. Mungkin mereka hanya menghargai dan mengakui orang-orang yang memiliki sesuatu yang “luar biasa”. Padahal terdapat kata “biasa” di dalam frasa “luar biasa”. Itu membuktikan tidak akan ada “luar biasa” tanpa adanya “biasa”.

          Saat ini aku berada jauh dari keluarga. Beratus-ratus kilometer jauhnya. Tanpa seorang pun sanak saudara, aku berjuang sendirian di sini. Mungkin terlihat keren bagi sebagian orang, itu karena mereka tidak tahu apa yang sebenarnya aku rasakan di sini.

          Ini adalah kali pertama aku jauh dari orang tua. Ini adalah kali pertama aku me-manage hidupku sendiri. Pola makan, pola tidur, belajar, dan uang semua berada di bawah kendaliku. Aku yang mengatur semuanya sendiri.

Aku memang sudah menjadi seorang mahasiswi sekarang, tapi aku juga hanya seorang remaja biasa yang terkadang masih suka labil. Belum bisa sepenuhnya menguasai egoku.

Mungkin aku sering bertingkah menyebalkan dan acuh atau bahkan jarang memberi ataupun menanyakan kabar pada mereka. Itu bukan berarti aku tidak peduli lagi! Sungguh. Hanya saja dengan banyaknya kegiatan kampus, asrama, les, dll., membuatku terkadang lupa untuk hanya sekedar menyapa. Lagian tidak mungkin aku terus-terusan mengabaikan mereka, pasti akan ada saatnya di mana aku merindukan dan membutuhkan mereka.

Sayangnya di saat aku merasa homesick, di saat itu pulalah mereka mengacuhkan dan mengabaikanku. Entah ini karma atau pembalasan dendam, aku tidak tahu. Hanya saja aku merasa menjadi manusia paling kesepian.

Kucoba untuk menghubungi mereka, tapi jawaban yang kuterima adalah jawaban ketus, singkat, dan bahkan tidak di balas. 

Selasa, 07 Mei 2013

Kecewa? Iya.


Kecewa? Iya.

Itulah yang aku rasakan sekarang. Kecewa karena orang terdekat pun tak mampu atau bahkan tak mau membantuku. Aku tahu ini semua salahku, salahku yang terlalu terbawa sikon dan tak mampu membatasi diri. Salahku karena sudah tak bisa lagi mengontrol diri.

Akan tetapi, tak bisakah mereka mengerti? Aku masih labil, jujur kuakui. Aku masih belum bisa menahan seluruh egoku. Hingga akhirnya aku pun tak dapat mengontrol diriku sendiri.

Setiap kejadian atau peristiwa pasti ada hikmahnya. Itu benar. Buktinya, masalah ini membuatku sadar bahwa masih banyak yang harus aku pikirkan dan aku khawatirkan. Tak selalu “itu” yang membuatku galau setiap harinya. Tak selalu “itu” yang membuatku menahan tangis karena dikecewakan.

Masalah ini membuat pikiranku lebih terbuka, aku bukanlah anak kecil lagi yang harus minta bantuan mereka ketika berada dalam kesulitan. Aku sudah menjadi seorang mahasiswa sekarang dan itu artinya aku sudah memiliki tanggung jawab atas diriku sendiri. Aku pasti bisa melewati ini semua. Toh ini semua juga bisa menjadi jalanku untuk menjadi manusia yang lebih baik. Tinggal bersyukur saja, mudah kok.

Aku akan mengubah mindsetku. Aku akan mengubah jalan berpikirku. Sampai aku benar-benar bisa melukapakannya dan menemukan jalan keluar untuk masalah yang sedang aku hadapi ini.

Senin, 06 Mei 2013

Do I Love You, Really ?


            Mungkin ekspektasiku yang terlalu tinggi atau harapanku yang terlalu besar, aku tak tahu. Yang aku tahu semuanya itu terasa seperti mimpi. Setiap moment bersamamu yang kulalui beberapa hari lalu itu cukup membuatku bahagia (walau sementara). Mulai dari jalan berdua tepat di malam minggu (yah walau sebenarnya sedang dalam misi), ngobrol yang gak ada habisnya (maksudnya topik), kamu beliin aku minuman (aku yang minta beliin sih hehe..), dan lain-lain. Singkat, tapi padat. Sebentar, tapi aku bahagia. Kalau katanya Melinda, Cinta Satu Malam, nah kalau aku, Cinta Satu Hari (hahaha). Iya soalnya malam minggu dan minggu siang.

            Gak tahu kenapa nyaman banget dekat dia, tapi aku gak mau terlalu mudah jatuh karena akan sakit nantinya ketika harus bangkit lagi. Butuh proses yang panjang dan cukup lama untuk bisa memulihkan hati yang sudah rusak. Akan membutuhkan energi yang sangat besar untuk membuat jantung ini berdetak lagi untuk seseorang ketika dia sudah berhenti berdetak karena orang lain.

            Kejadian ini mengubahku menjadi seorang pujangga. Bukti realnya dari beberapa tweetku hari ini, yaitu:

            My mistake for thinking I’m the one :’)

            I love that night, really :*

            I can’t fall for you! It’s too early and It’s too ridiculous :’)

            Stuck in the moment :))

            Mungkin aku yang terlalu terbawa perasaan atau kamunya yang gak peka?

            Mungkin malam itu gak berarti apa-apa di kamunya, tapi itu berarti banget buat aku :’)

            Jangan melihatku kalau rasa itu tak pernah ada :’)

            Hari ini berjalan seperti biasa, kita bertingkah layaknya orang asing yang tak saling mengenal. Hanya saja ada bedanya kali ini, aku jadi suka memperhatikan kamu. Aku gak tahu apa kamu juga suka memperhatikan aku?

Jumat, 03 Mei 2013

He Tried to Cheat My Friend on May 3rd 2013


            Assalamualaikum.

            Seperti biasa, kehidupanku di asrama tidak mungkin bisa berlangsung damai walau hanya  untuk sehari. Buktinya, semalam ada kejadian mengejutkan lagi yang terjadi. Temanku dihubungi oleh orang yang tak dikenal yang mengaku sebagai Customer Service sebuah provider ternama di Indonesia. Awal kejadiannya aku tidak begitu tahu karena saat itu aku sedang terlelap. Detail kejadiannya akan aku ceritakan di paragraf selanjutnya.

            Saat aku sedang asyik-asyiknya bergulat dengan mimpiku, sayup-sayup kudengar suara Kiki dan Ika sedang mengobrol disertai suara ngebass dari speaker handphone. Suara lelaki. Aku bingung, apa yang sedang terjadi? Mengapa mereka berdua berisik sekali? Kubalikkan badanku ke kanan hingga menghadap ke arah mereka berdua. Aku dihinggapi rasa penasaran, ada apa ini?

            Perlahan kubuka mataku dan kutajamkan pendengaranku. Tak mau ketinggalan satu kata pun yang mereka ucapkan. Semakin kudengar obrolan mereka, semakin pahamlah aku apa yang sedang terjadi.

            Lelaki itu bertanya pada temanku apakah temanku mau menerima doorprize sebesar 15 juta dari provider tempat dia bekerja. Kalau mau katakan “mau” dan kalau tidak katakan “tidak”. Dari awal mendengar pembicaraan mereka, aku sudah tertawa. Masih saja ada penipuan seperti ini. Entah mengapa feelingku langsung berkata bahwa ini semua adalah penipuan. Mungkin karena aku orangnya terlalu curigaan atau entah terlalu waspada.

            Sayangnya temanku terlalu polos, dia masih saja mau meladeni obrolan tidak penting itu. Bahkan sedikit terlihat bahwa dia tergoda, andai saja aku tidak bangun, entah apa yang akan terjadi. Untung saja temanku tidak langsung memberikan nomor rekeningnya. Jika dia sudah memberikannya, hanya akan tersisa penyesalan yang mendalam. Aku bukan sok menjadi pahlawan atau apa, tapi aku sedikit banyak membantu mereka berdua menganalisis setiap pernyataan dan jawaban yang dilontarkan oleh oknum penipu itu.

            Aku bertanya pada orang itu, “Atas dasar apa temanku mendapat doorprize?”

            Dia menjawab, “Tidak atas dasar apa-apa. Hanya karena saudari Kiki memiliki nomor ******** (suatu provider ternama).”

            Refleks aku mencibir. Dia gila atau apa, 15 juta itu duit dan dia hanya memberikannya secara percuma. Jawaban yang dia berikan padaku tak lantas membuatku puas.

Tiba-tiba, Ika melontarkan pertanyaan padanya, “Boleh tidak kalau Kiki bertanya dulu pada orang tuanya?” Aku bingung, apa Ika juga mulai tergoda?

Akan tetapi, jawaban yang lelaki itu lontarkan semakin menguatkan kecurigaanku padanya. Dia menjawab, “Tidak bisa. Harus sekarang dijawab. Mau atau tidak? Tinggal jawab itu saja.” Terkesan memaksa bukan?

Aku tekankan kepada Kiki dan Ika bahwa itu adalah penipuan. Karena jika memang dia berniat memberikan doorpize harusnya dia tidak memaksa begitu. Dia tidak memberikan kita ruang untuk mencari kebenaran. Awalnya, Ika hendak menelfon langsung CS resmi dari provider tersebut, karena si penipu ini menelfon menggunakan nomor biasa, tapi oknum tersebut tidak memberikan izin. Dia terus memaksa Kiki untuk menjawab, iya atau tidak.

Jujur aku kesal dengan Kiki. Apa susahnya bilang tidak? Yang ada dia hanya terdiam dan mengunci rapat bibirnya. Hingga akhirnya, Ikalah yang meladeni setiap pernyataan yang lelaki ini ucapkan.

Sampai akhirnya perseteruan mereka sudah mencapai klimaks dan lelaki ini mulai tidak sabar, si Kiki tanpa berdosa mematikan sambungan telefon. Aku terdiam. Mengapa dimatikan? Begitu pikirku. Apa susahnya bilang TIDAK? Aku kesal sendiri. Jujur, bukan aku membela si penipu, tapi justru semakin memperparah keadaan jika sambungan telefonnya dimatikan begitu saja.

Benar saja, tak lama kemudian si lelaki ini kembali menelfon temanku sambil mencak-mencak. Dia menyebutkan semua kata-kata kasar, telingaku panas mendengarnya.

Kubalas dia, “Setahu saya, seorang customer service tidak mungkin berkata kasar. Apalagi CS sebuah provider ternama!”

Mungkin dia sudah sangat kesal menghadapi temanku yang sangat bertele-tele atau karena temanku tidak termakan oleh tipuan murahannya, dia kembali menyebutkan kata-kata kasar. Sungguh, sebagai seorang perempuan aku sangat terhina sekali. Rasanya ingin kutampar mulut lelaki itu atau paling tidak membalas semua kata-kata kasarnya, kalau tidak mengingat aku memiliki agama. Kutahan dan kuredam amarahku, kulesakkan seluruh emosiku ke dalam pikiranku yang masih mampu berfikir realistis, dan kutelan bulat-bulat semua kata kasar yang tengah berada di ujung lidahku. Hingga akhirnya sambungan telfon itu pun mati dan tak pernah berbunyi lagi.

Ruangan kamar kami lantas hening. Aku masih diliputi amarah. Apa aku terlalu ikut campur dalam masalah temanku? Andai saja aku tidak ikut campur, tidak mungkin aku kena imbas makian lelaki sialan itu. Akan tetapi, jika aku diam saja, apa aku pantas disebut teman? Dilema.

Ah, sudahlah. Toh semua sudah terjadi juga. Waktu tidak akan bisa diputar. Lagian, wajar saja lelaki itu marah. Selain karena dia gagal menipu dan merasa tidak dihargai dengan telfonnya yang diputus secara tiba-tiba dan sepihak, pulsanya juga mungkin sudah habis untuk menghubungi temanku dari tadi.

Kejadian ini dijadikan pelajaran saja.

Kamis, 02 Mei 2013

Do I Love Writing?


            Aku bingung. Aku memang suka nulis, tapi bukan berarti aku bisa menulis kapan pun aku mau. Aku menulis tergantung mood. Ketika moodku sedang bagus maka ide cerita akan terus mengalir di kepalaku, tapi jika moodku sedang jelek maka untuk berpikir jernih saja rada susah.

Temanku banyak yang menginginkan kisah hidupnya aku tulis, tapi tidak semudah itu. Karena seperti yang aku bilang tadi, aku menulis tergantung mood dan ketika aku benar-benar sedang berada dimood yang baik maka aku tidak akan berhenti menulis sampai aku merasa puas dan passionku tersalurkan. Bukan aku tidak ingin mengabulkan permintaan mereka, tentu saja aku mau. Hanya saja tidak semudah itu, aku bukanlah penulis profesional seperti Primadona Angela, Orhizuka, atau Raditya Dika, dan lain-lain. Aku adalah seorang penulis pemula yang masih dalam tahapan pembelajaran.

            Genre tulisanku adalah real life. Menurutku, menulis based on true story itu feelnya lebih dapat dan ide cerita itu bakal ngalir terus karena kita sudah ada gambaran bagaimana kelanjutan kisahnya. Sering cerita hidupku sendiri yang kutulis, bukan bermaksud menjual kisah sendiri, tapi rasanya menyenangkan bisa berbagi pengalaman dengan orang banyak. Tidak heran mengapa aku suka mendengarkan curhatan dari kakak dan teman-teman. Cerita mereka bisa aku jadikan sebuah inspirasi dalam menulis. Hanya saja terkadang karena bukan aku sendiri yang mengalaminya, feel tokoh utama belum bisa aku kuasai dengan sempurna. Masih butuh banyak perombakan.

Tulisanku juga masih jauh dari kata bagus, tapi banyak yang bilang padaku bahwa semakin sering kita menulis maka insyaallah tulisan kita akan semakin baik. Sebenarnya bukan masalah teori yang belum kupahami, tetapi kosakataku yang masih kurang. Jadi, terkadang kata-kata yang kurangkai itu masih terlalu sederhana. Itulah alasanku mengapa aku membuat akun di Kompasiana dan membuat sebuah blog. Selain untuk menyalurkan hobi, aku juga masih terus belajar menulis. Aku menulis secara rutin agar kemampuanku terus terasah.

Sambil menyelam minum air, mungkin itu istilah yang tepat untukku. Selain aku dapat menyalurkan hobi dengan mempublish tulisanku, aku juga bisa merasakan euforia ketika tulisanku dibaca oleh orang lain. Bahkan terkadang aku mendapat komentar berupa pujian maupun kritikan. Jujur memang yang aku ingin dengar itu lebih kepada sebuah pujian, tapi aku tidak akan pernah mampu membuat karya yang lebih baik jika hanya mendengar pujian saja. Makanya aku sangat mendengarkan kritikan ataupun saran dari pembacaku, semua yang mereka ungkapkan sangat aku hargai. Bahkan aku sangat berterima kasih karena sudah mau repot-repot menganalisis rangkaian kata yang kulukis indah di secarik kertas (halaman Word).

Senang bercampur bangga jika tulisanku dibaca oleh orang lain. Mengapa orang lain aku garis bawahi? Karena aku tidak mengenal mereka. Jadi, jika tulisanku jelek aku tidak perlu merasa malu dan ketika orang yang kukenal yang membaca tulisanku maka tidak bisa dielakkan lagi, aku pasti merasa malu. Semenarik apapun tulisanku, tetap saja ada rasa yang mengganjal di pikiranku. Mentalku masih payah. Entah bagaimana mengubah cara berpikirku ini. Kalau begini terus bisa-bisa aku tidak akan pernah benar-benar menulis sebuah novel.

Rabu, 01 Mei 2013

01 May 2013


                Assalamualaikum.

                Diawali dengan senyuman pagi ini karena teringat rencana jalan bareng teman sekelas selesai kuliah. Hari ini hanya satu mata kuliah saja dan itu pun cuma 50 menit. Rencana jalan ini pun aku yang mulai, tanpa sengaja aku ngebaca tweet @astro_rett yang bilang kalau dia mau nonton, tapi sikon gak mendukung. Iseng aja aku pancing dia untuk nobar a.k.a nonton bareng. Akhirnya aku tag juga itu mention ke @dewibungasari dan @andeanishi dan akhirnya jadilah kami nonton berempat.

                Ada dua film yang sempat ngebuat Retno dan Bunga galau dari kemaren. Iron Man 3 atau 9S10A. Berhubung aku gak suka film action atau sejenisnya, otomatis aku ngebet pengen nonton 9S10A. Apalagi itu based on true story dan pemerannya juga alumni IPB (ciye IPB, almamater kami broh). Nonton itu bangga banget parah. Sayang aja waktu itu IPBnya masih di Baranangsiang, coba kalau udah di Dramaga, pasti bisa numpang eksis deh haha

                Akhirnya, pilihan kami jatuh pada 9S10A. Pas banget jadwal pemutaran filmnya jam 12.00 dan kami sampai di sana jam 12 lewat sedikit. Gak inget tepatnya lewat berapa. Bunga dan Retno langsung mau mesan tiket, aku ragu. Jujur, aku gak suka nonton film apa pun kalau ketinggalan walau cuma beberapa menit. Rasanya ada yang kurang. Akan tetapi, karena jadwal pemutaran film yang kedua jam 3-an gitu, mau gak mau harus mau kami nonton yang jam 12.

                Selesai nonton, detailnya tahu sendirilah ya gimana cewek kalau udah ke mall hehe. Sampai akhirnya kami kembali ke asrama. We’re going home. Yeah, that’s our home for now.

                Ada insiden kecil sih pas masih di mall. Sebenarnya pengen cerita, tapi takut yang sananya nyadar atau ngerasa kan jadi gak enak ya haha. Oke mari lupakan insiden itu. Ternyata di Dramaga hujan. Hujannya gak deras-deras banget sih, tapi cukuplah bikin basah kuyup kalau berdiri selama 5 menit tanpa teduhan. Kami kembali dilema, naik ojek atau jalan kaki? Akhirnya, kami memilih untuk jalan kaki. Sekalian main hujan, katanya.

                Diskip ceritanya. Malamnya aku janji ketemuan sama kakak tingkat. Ngobrol bentar di kantin dekat asrama. Habis itu langsung cabut ke kamar teman. Niatnya aku jadi tempat sampah malam ini. Suka sih dengar cerita teman. Berhubung aku hobi nulis juga, sekalian bisa jadi inspirasi.

                Awalnya sih Kakak Resti yang curhat, tapi malah endingnya dia sama Kakak Imet ngepoin aku -_- haha, tapi galau aku jadi hilang sih karena mereka :D makasih yaa kakakku yang cantik ;) Sayang banget sama mereka {}

                Jam segini aku masih belum tidur, bukannya belum ngantuk, tapi ada hasrat pengen nulis. Jadinya, rasa kantuknya diacuhin dulu hehe

Beberapa foto kami saat jalan tadi siang:


Mala dan Dea
Retno dan Bunga