Kuraih handphone No**aku yang tergeletak manis di
bawah kolong tempat tidur, kutekan asal keypadnya. Terlihat jelas waktu sudah
menunjukkan pukul 6.07 WIB. Aku terlonjak kaget! Aku telat, pikirku.
Tanpa
pikir panjang aku langsung bangkit berdiri dan berjalan menuju lemari dan kamar
mandi. Langkahku sempat terhenti sebentar karena kepalaku terasa pusing. Darah
rendah. Haa, setelah terdiam sebentar aku kembali melanjutkan langkahku. Aku
mandi dengan terburu-buru, menyiapkan segala sesuatu dengan terburu-buru, Alhamdulillah
aku solat tidak dengan terburu-buru. Aku sudah ready ketika waktu menunjukkan pukul 6.30 WIB. Sepertinya aku berbakat
dalam melakukan segalanya dengan cepat.
Sekarang
aku bisa sedikit santai, pikirku. Toh, janjiannya pukul 7.00 WIB. Aku mulai
memperlambat gerakanku. Aku meraih handphone dan mulai menge-check akun twitter serta facebookku. Siapa tahu ada mention atau notifications baru. Setelah waktu menunjukkan pukul 6.45 WIB, aku
mulai bergegas.
Kulangkahkan
kakiku menyusuri jalan Balebak hingga Balio dan melanjutkan perjalanan
menggunakan angkutan umum alias angkot. Sesampainya di Bara ujung, aku kembali
berjalan menuju Bank B**. Ya, di sanalah lokasi pertemuanku dengan Jendral
Nadya.
Kulirik
parkiran Bank tersebut dan ternyata tidak ada siapa pun yang juga sedang
menunggu. Apa aku terlalu cepat? Rasanya waktu tepat menunjukkan pukul 7.00
WIB. Hah, ini pertanda bahwa aku sepertinya akan menunggu lagi kali ini. Kukira
tadi aku sudah telat, pikirku. Baiklah, sudah biasa jika seorang Mala menunggu
dan sangat tidak biasa jika ditunggu.
Aku
mulai berjalan menuju teras depan Bank tersebut yang sering dijadikan
orang-orang sebagai tempat duduk. Aku mulai memainkan handphone, membunuh rasa bosan karena menunggu. Jujur, aku paling
tidak suka menunggu, tapi justru aku malah sering banget menunggu orang.
Kusms
Jendral Nadya, menanyakan lokasinya saat itu. Dia bilang bahwa sebentar lagi
dia akan datang. Baiklah, sepertinya sebentar lagi akan ada pertemuan pertama
antara prajurit 3 dengan jendralnya.
Dan
setelah menunggu beberapa menit, akhirnya Jendral Nadya masuk ke lapangan parkir
dan langsung menghampiriku. Wah, ternyata jendralku cantik :D Sayangnya,
pujianku itu tidak berlaku untuknya. Jendral malah berkata, “Wah, aslinya gak
sama dengan fotonya. Lebih gendut.” PLAK..
Straight to the point sekali jendral,
pikirku. Tapi tak apa, aku sudah biasa dikatai gendut -___-
Jendral
Nadya bilang bahwa kami akan menunggu Kak Fiki dulu. Lalu, kami bertiga akan
berangkat bersama menuju Stasiun Bogor. Di sana kami akan bertemu dengan Fathia
yang juga merupakan seorang prajurit (prajurit 4). Saat ini, dia sedang
berjuang membeli tiket KRL untuk kami.
Lama
menunggu, ternyata Kak Fiki datangnya telat. Jadi, jendral memutuskan untuk
kami berangkat lebih dulu. Kak Fiki akan menyusul kami di stasiun.
Sesampainya
di stasiun, ternyata antrian tiket sudah sangaaaaat panjang. Efek dari pemberlakuan
peraturan baru, yaitu tiket KRL berjaminan. Commuter Line. Sampai ada wartawan
yang sedang meliput, sayangnya aku dan jendral tidak ikut kesorot, sial!
Jujur,
ini kali pertama aku naik kereta (lagi) sejak aku belum sekolah dulu. Sudah
lupa rasanya naik kereta, lagian dulu itu keretanya masih yang duduk berempat
berhadap-hadapan. Persis seperti kereta api di film Harry Potter. Aku over
excited melihat tiket KRL berbentuk kartu (seperti KTP atau ATM).
Setelah
men-tap tiket di mesin, aku masuk ke
peron dengan semangat ‘45. Aku melihat keramaian di sana. Ternyata di peron
juga ada wartawan yang sedang meliput. Bahkan dia sampai merekam dalam gerbong
khusus wanita.
Aku
kira kami sudah bisa langsung berangkat, ternyata tetap harus menunggu lagi. Ya
sudahlah. Tidak sampai setengah jam menunggu, kereta tujuan Tanah Abang datang.
Aku bertambah excited dan mulai
berlari menyejajari langkah kaki Jendral Nadya. Fathia dan Kak Fiki tertinggal
di belakang. Mungkin jendral dan Kak Fiki bagi tugas untuk menjaga kami,
adik-adik kecil (hehehe ~).
Ternyata
naik gerbong khusus wanita itu harus rebutan. Untung aku sudah diwanti-wanti
dari awal oleh mereka, jadi aku sudah prepare
untuk bertarung memperebutkan kursi dengan penumpang wanita lainnya. Dan TARAA.. Aku berhasil duduk. Begitu juga
dengan jendral. Kami duduk berdampingan. Kak Fiki dan Fathia terpisah dengan
kami, tapi Alhamdulillah mereka juga mendapatkan kursi.
Perjalanan
kami tempuh lebih dari sejam. Lalu, setelah sampai di stasiun Tanah Abang, kami
lanjut naik kereta pertama menuju Palmerah. Di kereta menuju Palmerah ini, kami
berempat harus berdiri. Tak apalah, sebentar kok perjalanannya. Lagian lebih
seru berdiri, hanya saja pegangan tangannya terlalu tinggi untuk ukuran badanku
yang pendek -____-
Sesampainya
di Palmerah, kami berempat langsung menyebrang. Lalu, kami mulai meyeruak di
antara para pengunjung pasar. Tidak lama kemudian, sampailah kami di gedung
megah di bawah ini.
Yap,
sebenarnya tujuan dari perjalanan panjang kami adalah Kompas TV. Hari ini kami
akan bertemu dengan mereka untuk membicarakan masalah kontrak kerja sama untuk
acara Journalistic Fair IPB 2013. Pengalaman pertamaku mengunjungi stasiun TV
ternama Indonesia. Inilah alasan mengapa aku bela-belain buru-buru melakukan segala
hal tadi pagi. Ya, karena aku akan mengunjungi gedung ini.
Setelah
Kak Fiki dan Jendral berbicara dengan staff di sana, yaitu Mas Riyan, Mas Yuni,
dan Mbak Anye. Akhirnya, kami pulang dengan gegap gempita. Mengapa? Karena
mereka setuju untuk menjadi pembicara di seminar dan talkshow JF.
Kami
pulang tidak dengan tangan hampa. Setelah selesai solat dzuhur di musholla
depan samping gedung. Aku mengajak Kak Fiki, Jendral, dan Fathia untuk
bernarsis ria di depan gedung. Sayangnya fotoku tidak bisa aku tampilkan di
sini, dikarenakan saat foto diambil jilbabku terbang dan tidak menutupi aurat.
Mungkin aku bisa menampilkan foto mobil Kompas TV yang sedang terparkir manis
di parkiran depan gedung.
![]() |
Mobil ini insyaallah akan datang mengunjungi IPB bulan September dan Oktober. |
Setelah
selesai berfoto, kami melanjutkan langkah untuk kembali pulang. Akan tetapi,
suara perut menghentikan langkah kaki kami di suatu Rumah Makan Padang. Puas
menyantap makan siang, kami kembali masuk ke stasiun Palmerah. Tidak lupa
sebelumnya membeli tiker trayek saja menuju Tanah Abang, sebesar Rp 4500,-
Sampailah
kami di Stasiun Tanah Abang.
Lalu,
kembali melanjutkan perjalanan menuju Stasiun Bogor. Kabar gembira dalam
perjalanan pulang ini adalah bahwa tidak ada lagi antrian panjang dan serobotan
seperti tadi pagi. Kali ini stasiun lengang. Kami berempat bahkan bisa memilih
mau duduk di mana. Akhirnya kami putuskan untuk duduk di tengah dan duduk
berdampingan. Tentu saja tetap di gerbong khusus wanita.
Jendral
langsung tertidur begitu duduk di kursi sambil menyematkan headset di kedua
telinganya. Aku, Fathia, dan Kak Fiki terlibat pembicaraan seru perihal dunia
jurnalistik. Semua hal kami bahas, tapi aku lebih banyak diam dan mendengarkan
mereka berbicara. Aku lebih memilih untuk diam karena ternyata banyak ilmu dan
informasi yang bisa kudapatkan dari mereka. Pengetahuanku tentang jurnalistik
tidak ada apa-apanya dibandingkan mereka berdua.
Hingga
akhirnya kami lelah, diskusi seru itu pun berakhir. Fathia tertidur di
pundakku. Aku dan Kak Fiki lebih memilih untuk diam. Sebelum Fathia jatuh
tertidur, dia sempat meminjamkanku novel karya Ustadz Felix Y. Siauw yang “How to Master Your Habits”.
Kubolak-balik
buku itu untuk mengusir rasa bosan dan lelah. Hingga akhirnya sampailah kami Stasiun
Bogor. Setelah menukar tiket dengan uang jaminan Rp 5000,- kami pun berlalu
dari sana dan melanjutkan perjalanan pulang menggunakan angkutan umum. Kami
berpisah dengan Fathia di sebuah stasiun yang jujur aku tidak tahu namanya
(maklum, aku jarang keluar dari asrama dan kosan). Karena Fathia hendak pulang
ke rumahnya, ya, kebetulan Fathia juga anak Bogor.
Kami
bertiga pun naik angkutan umum menuju Kampus Dalam. Sesampainya angkutan umum
di ujung Bara, jendral pamitan dan turun. Tinggalah aku dan Kak Fiki. Kami
mengobrol ringan hingga sampailah kami di Balebak depan Bumbu Wangi. Kali ini,
giliran aku yang pamitan. Kak Fiki berkata sebelum aku berlalu dari sana, “Ya, gue
ditinggal sendiri.” Hehe maaf kakak, tapi memang ini jalan menuju kosan Mala :))
Akhirnya,
perjalanan panjang, lelah, dan seru kami ini pun berakhir. Haah, kapan lagi aku
bisa melakukan perjalanan seperti ini? Jika ada yang mengajakku berpetualang
lagi, pasti aku mau! Hem, mungkin saat teman-teman sedepartemenku akan ngedanus
di Monas kali ya atau ketika mereka ngamen? Hem, bisa dipertimbangkan. Hikmah
dari perjalanan seperti inilah yang bisa aku ambil pelajarannya. Tidak hanya
dalam bentuk teori, tetapi juga dalam bentuk nyata.