Kamis, 22 Mei 2014

WITHOUT EDITING!



Sekian lama berjibaku dengan rasa kangen akhirnya bulan depan akan terluapkan juga. Finally, I can hug my mom, dad, sister, and younger brother including my besties. Guys, I really miss you all. Nothing can describe what I feel now!

Mungkin kalian heran kenapa aku masih suka nangis karena kangen rumah, padahal aku udah dua tahun lebih di Bogor dan toh setiap liburan pulang ke rumah. Tapi jujur aku sendiri juga gak tahu kenapa, karena makin ke sini makin suka kangen rumah. Apalagi ngelihat teman-teman lain yang bisa pulang ke rumah saat weekend. Rasanya itu nyesek banget, ngeliatin foto-foto mereka bareng keluarga di instragram atau medsos lainnya, ngedenger cerita mereka yang habis jalan-jalan atau sekedar makan di luar bareng keluarga, saakiiiittt banget! Aku suka mikir, kenapa aku gak bisa kayak mereka? Ketika kangen rumah yah tinggal pulang aja, gak perlu nunggu liburan dulu yang otomatis harus ngelewatin UAS dulu!

Temanku pernah menjawab ketika aku tanya pertanyaan di atas ke dia, “Kalau gitu kenapa gak kuliah di Medan aja? Ini namanya resiko! Kalau gak kuat yaa kenapa kemaren milih Bogor?”

Dan rasanya ketika mendengar jawaban dia itu JLEEBB banget! Aku jadi berpikir, iya juga. Kenapa kemaren milih Bogor kalau emang gak kuat jauh dari rumah?

Beberapa hari lalu aku juga pernah diskusi sama teman di departemen, kami saling share tentang keluarga. Dia bilang, dia dulu disuruh kedua orang tuanya untuk masuk STIS dan aku dulu pernah ditawarin masuk ekonomi. Aku dan dia merasa senasib sepenanggungan. Yah, mungkin aku hanya “ditawarin” dan dia “disaranin”. Jadilah, aku dan dia memilih apa yang telah ditawarkan dan disarankan kedua orang tua kami. Hasilnya, dia gagal di STIS karena memang bukan passionnya, sedangkan aku lulus di ekonomi yang sejujurnya dari awal bukanlah passionku. Temanku yang gagal STIS akhirnya memilih ekonomi karena dia memang suka bisnis, sedangkan aku yang lulus di ekonomi sampai detik ini terkadang merasa terdampar di pulau terpencil tanpa cahaya atau sekedar makanan.

Dia bilang, kenapa aku mau masuk ekonomi kalau memang bukan passionku? Aku bilang yaah namanya anak, bukankah sudah kewajiban harus mendengar saran dari orang tua, toh yang penting aku lulus dan bisa kuliah. Lalu dia berkata, “seharusnya dulu kamu gak usah dengerin mereka, ini hidup kamu. Harusnya kamu tetap fokus sama passion kamu. Kamu suka nulis kan? Masuk sastra kalau gitu!” Jujur, aku sempat terdiam mendengar perkataannya. Tanpa disadari, otakku langsung berkata, “sekarang udah lulus terus apa? Mau banggain orang tua kan? Tapi kok masih suka ngeluh? Harusnya ikhlas dong!”

Yah, awalnya mungkin aku dan dia senasib, sama-sama mencoba untuk memilih apa yang telah dipilihkan orang tua, tapi hasilnya berbeda. Dia gagal, tapi akhirnya bisa memilih apa yang dia suka dan merasa bahagia walau awalnya didiamkan kedua orang tuanya beberapa hari karena hasilnya tidak sesuai dengan keinginan mereka. Sedangkan aku diterima dan masih terkungkung dengan itu semua. Masih meraba-raba ekonomi itu apa, masih mencoba menyukai ekonomi, yah mau mundur juga percuma. Mungkin malah lebih fatal akibatnya, aku hanya berharap semoga semua usaha dan tetes keringatku akan menghasilkan sesuatu kelak! Aamiin.

Lagian, kalau aku kemaren gak mengambil ekonomi, aku gak akan bertemu dengan teman-teman hebat seperti mereka. Teman-teman yang sampai sekarang jadi salah satu alasan kenapa aku masih bertahan di sini, teman-teman yang sering bilang aku bocah, teman-teman yang gak marah walau aku berbuat salah, teman-teman yang mencoba memahamiku walau terkadang aku sendiri gak paham dengan diriku, teman-teman yang akan selalu menjadi temanku walau gelar itu sudah aku dan mereka dapatkan ({})

Guys, I love you! ESL49, Greenpreneur!

Senin, 05 Mei 2014

"Loving Nature Makes You Mature!"

Source: setkab.go.id


“Ngakunya anak lingkungan, tapi kok masih buang sampah sembarangan?”

“Ngakunya pecinta alam, tapi kok sikapnya malah merusak alam?”

Itulah kalimat yang ingin aku sampaikan tiap kali melihat teman-teman atau siapapun membuang sampah bukan pada tempatnya. Jika di saat kalian ingin membuang sampah, tapi ternyata tidak ada tempat yang disediakan, hendaklah menyimpan dahulu sampah yang ingin kalian buang tersebut. Tidak ada salahnya bukan?

Manusia terlahir bukan karena tanpa alasan. Manusia dititipkan amanah yang bukan main beratnya sebagai khalifah di bumi oleh Sang Pencipta. Sudah selayaknya manusia menjaga dan merawat alam. Sudah selayaknya manusia berpikir bahwa alam ini tidak selamanya akan menerima diperlakukan tidak adil oleh manusia. Tak jarang alam murka, tak jarang alam marah!

Bukankah alam sudah sering menunjukkan ketidaksukaannya pada manusia? Apalah arti manusia di bumi? Hanya seonggok daging yang bernama? (dikutip dari film 5 cm).

Manusia adalah makhluk paling sempurna yang diciptakan Tuhan. Manusia memiliki jiwa, raga, pikiran (akal), dan hati. Mengapa tidak dipergunakan dengan maksimal? Mengapa hanya digunakan untuk meraup keuntungan dan kekayaan pribadi? Pantaskah makhluk seperti itu disebut manusia?

Pertanyaan yang paling penting adalah pantaskah manusia meraup keuntungan dan kekayaan pribadi melalui ALAM? Pantaskah alam yang menjadi korban atas kerakusan manusia? Pantaskah alam menjadi tumbal untuk semua keegoisan manusia?

Miris melihat tanah papua yang telah terkuras habis seluruh kekayaannya, miris melihat hutan-hutan di Indonesia yang telah habis terbakar dan beralih fungsi menjadi perkebunan kelapa sawit, jerih melihat hak-hak kedaulatan masyarakat pribumi atas tanah airnya dirampas paksa oleh penjajah atau bahkan oleh pemimpin yang seharusnya berlaku sebagai tameng pelindung, dan masih banyak lagi ketidakadilan perlakuan manusia terhadap alam.

Lantas apalah jalan keluar untuk seluruh permasalahan di atas?

Objek yang dapat memecahkan kebuntuan atas jawaban dari seluruh permasalahan di atas hanyalah diri sendiri. Mengapa? Karena andai kata seluruh manusia di muka bumi mulai berpikir dan bertindak selayaknya “manusia”, maka insya Allah keadilan akan tegak nan kokoh berdiri.

Pemerintah akan menjadi lembaga yang mampu mengajak masyarakat hidup dalam keselarasan dengan alam. Serta pemerintah akan mampu memilih, menyeleksi, dan meloloskan proyek yang tidak merusak kelestarian alam.

Bukankah hijau lebih baik? Bukankah oksigen lebih penting? Bukankah rimbun lebih indah?