Minggu, 19 April 2015

Wanna Restart My Life



Mulai mencoba memahami diri sendiri, mengerti jalan pikiran dan apa yang sebenarnya aku inginkan. Sudah lama semua passion dan hobiku terpendam. Semua yang aku inginkan selalu dilarang oleh kedua orang tua, atau minimal aku tidak berani mengungkapkannya pada mereka sehingga semuanya terpendam begitu saja dan tidak berkembang sama sekali. Jujur, aku iri pada mereka yang memiliki keterampilan lain, dalam hal ini yang berkaitan dengan kreativitas karena aku merasa semua kreativitasku terenggut. Pola pikirku telah dibentuk sejak awal, mungkin sejak aku lahir, bahwa akademik posisinya berada di atas segala-galanya.
          Sampai saat ini aku masih merasa kecewa pada mereka yang membuatku menjadi seperti sekarang. Bukan aku tidak bersyukur, tidak sama sekali, hanya aku ingin mencoba hal-hal lain yang aku bahagia menjalaninya. Harusnya mereka tahu sejak awal bahwa aku tidak begitu suka belajar hahaha yah aku tahu sudah sepantasnya aku belajar. Namun saat ini, belajar bukanlah satu-satunya cara untuk sukses. Bisnis, gambar, komunikasi, masih banyak hal lainnya yang aku bisa berkembang di sana.
          Bahkan untuk memilih jurusan pun aku masih diberi pilihan. Aku tahu harusnya aku bersyukur karena aku diterima di IPB dengan jurusan pilihan Papa. Aku juga tahu aku belum tentu diterima di UGM jika aku memilih jurusan sastra Jepang di sana, tapi aku masih merasa passionku ada di sana. Bukan hanya sastra Jepang karena itu merupakan salah satu dari kesukaanku, tapi sastra. Bahasa. Aku tahu kepribadianku adalah introvert dan seharusnya bagi orang yang menyukai bahasa seharusnya dia extrovert, tapi aku senang belajar bahasa. Aku senang memahami pembicaraan orang lain. Aku merasa menjadi tahu segalanya.
          Aku tahu belajar bahasa saat ini mudah untuk dijalani bahkan hanya dengan bermodalkan laptop dan internet semuanya dapat dipelajari. Hanya saja jalurku untuk ke luar negeri dan berteman dengan mereka yang memiliki passion yang sama denganku, itulah yang kusesali karena tidak kudapatkan. Aku juga tahu bahwa jalan untuk ke luar negeri saat ini banyak pilihannya, namun kebanyakan bertitle beasiswa dan aku sadar diri, aku tahu tingkat intelektualitasku tidak begitu tinggi, bukan karena aku lambat dalam memahami pelajaran, namun aku malas mengulangnya. Aku lebih suka bekerja sambil bermain, tidak memerlukan tingkat konsentrasi yang tinggi. Belajar bahasa bisa sambil bermain bukan? Untuk lebih memahami bahasa aku bisa sambil menonton film, membaca novel, mendengar musik, mengobrol dengan orang asing, dan lain-lain. Bukankah itu terdengar menyenangkan?
          Aku juga bisa bekerja sebagai guru les bahasa di kemudian hari, atau aku bisa menjadi tour guide yang dapat bekerja sambil travelling gratis, bukankah itu terdengar luar biasa? Atau juga aku bisa bekerja di stasiun tv sebagai penerjemah atau apa pun itu yang terdengar sangat luar biasa menyenangkan bagiku. Aku juga bisa menulis sesuai minatku dengan bahasa yang aku pelajari.
          Aku tahu semua itu tinggal mimpi karena saat ini aku berkecimpung di bidang ekonomi lingkungan, ekonomi sumberdaya, dan ekonomi pertanian. Aku tidak menyesal sama sekali hanya terkadang masih merasa kecewa pada hidupku. Mengapa jalur hidupku harus begitu terarah? Mengapa aku tidak bisa menentukan pilihanku sendiri? Aku tahu orang tua hanya menginginkan yang terbaik untuk anaknya, namun aku ingin pilihan hidup yang bisa kuambil lebih banyak opsinya. Bukan opsi akademik dan hanya bidangnya yang aku bebas memilih.
          Aku yakin kedua orang tuaku tidak tahu kalau aku tertarik di fotografi, broadcasting, dan event organizer. Semuanya hanya terpendam dalam diriku dan aku tidak tahu kapan aku bisa mulai belajar itu semua.

Sabtu, 18 April 2015

I Feel You Again, My Unfinished Story



            Memilih diam bukanlah cara yang baik untuk menyelesaikan masalah. Tidak apa jika tujuannya untuk meredam amarah, tapi setelahnya lebih baik dibicarakan agar tidak meninggalkan dendam dalam hati. Hal itu aku dapat dalam kehidupan orang Jepang yang memilih untuk mengutarakan seluruh perasaannya. Cara yang terlihat mudah namun sulit untuk dilakukan dan hal itu pula yang jarang dilakukan oleh orang Indonesia. Banyak yang lebih memilih untuk diam dan menunggu, entah sampai kapan. Lebih memilih untuk menunggu dalam ketidakpastian yang belum tentu berakhir bahagia dan seperti yang diinginkan. Dan pada akhirnya akan merasakan sakit dan kesia-siaan namun tetap menyalahkan keadaan.

            Hal itu pula yang terjadi padaku beberapa tahun lalu, mungkin aku punya alasan untuk memilih diam dan menunggu. Perempuan. Ya, genderku mengajarkan untuk tidak melangkah duluan walau saat ini sudah memasuki era emansipasi wanita namun dalam hal ini untuk menyatakan perasaan duluan masih “haram” hukumnya. Gengsi dan gak etis.

            6 bulan. Entah itu bisa dibilang singkat atau lama, tapi cukup meninggalkan bekas. Seperti yang sudah aku singgung di atas, sebuah penantian yang akan berakhir pada rasa sakit dan kesia-siaan.

            Hati. Sampai detik ini aku tidak tahu apa itu “cinta” atau hanya sekedar suka karena aku tidak tahu bagaimana rasanya jatuh cinta saat ini. Mati rasa. Mungkin, aku pernah disakiti oleh seorang “pemain” yang cukup handal ^^ Karenanya aku jadi dibuat bingung saat ini, apakah aku pernah merasakan jatuh cinta sebelumnya? Apakah penantian 6 bulan itu adalah sebuah cinta atau hanya sebuah rasa penasaran?

            Mata. Aku tersesat di masa-masa penantian karena mata coklat miliknya. Mata coklat yang saat itu berada tak jauh dariku dan langsung membuat aku terdiam, hahaha kekanakan? Melankolis? Mungkin. Namanya juga hati yang bicara, bukan lagi logika yang pegang kendali.

            Akhirnya. Penantian yang sia-sia karena pada akhirnya aku harus mundur karena ternyata dia menyukai temanku yang lain. Sedihnya bahkan sebelum aku mulai bermain dalam permainan hati itu. Selama 6 bulan hanya diam seribu bahasa dan suatu hari dipaksa mundur dan berhenti bermain. Diskualifikasi. Nyatanya lawanku jauh lebih hebat sehingga tanpa dia perlu bermain pun dia berhasil memegang pialanya. Miris? Hahaha tentu.

            Berharap padanya sebanyak dua kali adalah sebuah kebodohan yang aku alami. Setelah berpisah saat lulus SMA, akhirnya kami bertemu lagi dalam sebuah acara reuni dan aku jatuh sekali lagi. Bodoh! Sebuah pengharapan yang tidak ada habisnya bahkan sampai saat ini! Saat ini! Detik ini! Aku tidak tahu apa yang aku lihat darinya, bahkan untuk ngobrol face to face kami tidak pernah sekali pun! Padahal sudah berteman selama 6 tahun. Ya, kami masih berkomunikasi sampai sekarang, sejak dulu bahkan, namun hanya melalui media social. Hanya melalui media social.

            Makhluk pertama yang aku simpan fotonya diam-diam, makhluk pertama yang aku suka tanpa alasan karena aku suka dia bahkan sebelum aku mengenal dan tahu namanya, dan makhluk pertama yang aku suka sebanyak dua kali dan aku yakin kalau saat ini aku bertemu dengannya lagi maka aku akan suka untuk yang ketiga kalinya dan begitu seterusnya.

            Sebuah perhatian yang ditujukan untuk seorang teman. Aku tahu dan sadar dan tidak pernah berani berharap. Bahkan aku takut tidak mampu menyejajari langkah kakinya dalam memahami setiap ambisinya. Dia bergerak begitu cepat.

            Hanya mereka yang tahu betapa bodoh dan naifnya aku, hanya mereka. Ya Tuhan kenapa tiba-tiba sakit saat mengingatnya? Semua sudah lama terjadi namun kenapa rasa sakitnya masih terasa? Dia tidak salah, dia masih menganggapku teman, dia masih perhatian dan bersikap baik. Justru itu yang membuatku kesal, dia tahu tapi tidak pernah membicarakannya. Berpura-pura dengan tetap menjaga komunikasi denganku, seolah-olah inilah yang harusnya terjadi.

            Andai si pemain itu tidak pernah mengacak-acak hidupku, andai! Dia bertingkah sok jagoan dengan menyelamatkanku tepat di saat aku tahu bahwa “dia” tengah menyukai gadis lain. Sikap heronya justru membuatku muak saat ini! Tidak bisakah dia diam dan bersikap layaknya seorang pria? Menjaga wibawanya dan bukan mengumbar cinta ke semua gadis? Oke ini fix aku ngawur, dia tidak semurah itu tapi tetap saja dia menebar mantan di mana-mana, di segala tempat -___- dan aku muak menjadi salah satunya!

            Sialnya lagi kenapa aku harus mengingat kisah ini lagi? Bahkan menceritakannya lagi -__- Ini semua karena permainan bodoh yang aku tawarkan tadi malam, truth or dare! Semoga kisah yang tidak inspiratif ini tidak dibaca oleh siapa pun, aku hanya perlu menuangkannya karena kalau tidak maka aku akan menangis malam ini. XOXO