Memilih
diam bukanlah cara yang baik untuk menyelesaikan masalah. Tidak apa jika
tujuannya untuk meredam amarah, tapi setelahnya lebih baik dibicarakan agar
tidak meninggalkan dendam dalam hati. Hal itu aku dapat dalam kehidupan orang
Jepang yang memilih untuk mengutarakan seluruh perasaannya. Cara yang terlihat
mudah namun sulit untuk dilakukan dan hal itu pula yang jarang dilakukan oleh
orang Indonesia. Banyak yang lebih memilih untuk diam dan menunggu, entah
sampai kapan. Lebih memilih untuk menunggu dalam ketidakpastian yang belum
tentu berakhir bahagia dan seperti yang diinginkan. Dan pada akhirnya akan
merasakan sakit dan kesia-siaan namun tetap menyalahkan keadaan.
Hal
itu pula yang terjadi padaku beberapa tahun lalu, mungkin aku punya alasan
untuk memilih diam dan menunggu. Perempuan. Ya, genderku mengajarkan untuk
tidak melangkah duluan walau saat ini sudah memasuki era emansipasi wanita
namun dalam hal ini untuk menyatakan perasaan duluan masih “haram” hukumnya.
Gengsi dan gak etis.
6 bulan. Entah itu bisa dibilang
singkat atau lama, tapi cukup meninggalkan bekas. Seperti yang sudah aku
singgung di atas, sebuah penantian yang akan berakhir pada rasa sakit dan
kesia-siaan.
Hati. Sampai detik ini aku tidak tahu
apa itu “cinta” atau hanya sekedar suka karena aku tidak tahu bagaimana rasanya
jatuh cinta saat ini. Mati rasa. Mungkin, aku pernah disakiti oleh seorang “pemain”
yang cukup handal ^^ Karenanya aku jadi dibuat bingung saat ini, apakah aku
pernah merasakan jatuh cinta sebelumnya? Apakah penantian 6 bulan itu adalah
sebuah cinta atau hanya sebuah rasa penasaran?
Mata. Aku tersesat di masa-masa
penantian karena mata coklat miliknya. Mata coklat yang saat itu berada tak
jauh dariku dan langsung membuat aku terdiam, hahaha kekanakan? Melankolis?
Mungkin. Namanya juga hati yang bicara, bukan lagi logika yang pegang kendali.
Akhirnya. Penantian yang sia-sia karena
pada akhirnya aku harus mundur karena ternyata dia menyukai temanku yang lain.
Sedihnya bahkan sebelum aku mulai bermain dalam permainan hati itu. Selama 6
bulan hanya diam seribu bahasa dan suatu hari dipaksa mundur dan berhenti
bermain. Diskualifikasi. Nyatanya lawanku jauh lebih hebat sehingga tanpa dia
perlu bermain pun dia berhasil memegang pialanya. Miris? Hahaha tentu.
Berharap
padanya sebanyak dua kali adalah sebuah kebodohan yang aku alami. Setelah
berpisah saat lulus SMA, akhirnya kami bertemu lagi dalam sebuah acara reuni
dan aku jatuh sekali lagi. Bodoh! Sebuah pengharapan yang tidak ada habisnya
bahkan sampai saat ini! Saat ini! Detik ini! Aku tidak tahu apa yang aku lihat
darinya, bahkan untuk ngobrol face to face kami tidak pernah sekali pun!
Padahal sudah berteman selama 6 tahun. Ya, kami masih berkomunikasi sampai
sekarang, sejak dulu bahkan, namun hanya melalui media social. Hanya melalui
media social.
Makhluk
pertama yang aku simpan fotonya diam-diam, makhluk pertama yang aku suka tanpa
alasan karena aku suka dia bahkan sebelum aku mengenal dan tahu namanya, dan
makhluk pertama yang aku suka sebanyak dua kali dan aku yakin kalau saat ini
aku bertemu dengannya lagi maka aku akan suka untuk yang ketiga kalinya dan
begitu seterusnya.
Sebuah
perhatian yang ditujukan untuk seorang teman. Aku tahu dan sadar dan tidak pernah
berani berharap. Bahkan aku takut tidak mampu menyejajari langkah kakinya dalam
memahami setiap ambisinya. Dia bergerak begitu cepat.
Hanya mereka yang tahu betapa bodoh
dan naifnya aku, hanya mereka. Ya Tuhan kenapa tiba-tiba sakit saat
mengingatnya? Semua sudah lama terjadi namun kenapa rasa sakitnya masih terasa?
Dia tidak salah, dia masih menganggapku teman, dia masih perhatian dan bersikap
baik. Justru itu yang membuatku kesal, dia tahu tapi tidak pernah
membicarakannya. Berpura-pura dengan tetap menjaga komunikasi denganku,
seolah-olah inilah yang harusnya terjadi.
Andai
si pemain itu tidak pernah mengacak-acak hidupku, andai! Dia bertingkah sok
jagoan dengan menyelamatkanku tepat di saat aku tahu bahwa “dia” tengah
menyukai gadis lain. Sikap heronya justru membuatku muak saat ini! Tidak
bisakah dia diam dan bersikap layaknya seorang pria? Menjaga wibawanya dan bukan
mengumbar cinta ke semua gadis? Oke ini fix aku ngawur, dia tidak semurah itu
tapi tetap saja dia menebar mantan di mana-mana, di segala tempat -___- dan aku
muak menjadi salah satunya!
Sialnya
lagi kenapa aku harus mengingat kisah ini lagi? Bahkan menceritakannya lagi
-__- Ini semua karena permainan bodoh yang aku tawarkan tadi malam, truth or
dare! Semoga kisah yang tidak inspiratif ini tidak dibaca oleh siapa pun, aku
hanya perlu menuangkannya karena kalau tidak maka aku akan menangis malam ini.
XOXO
Tidak ada komentar:
Posting Komentar