Rabu, 23 April 2014

"Jadi Reporter"



Hari ini aku ditugaskan untuk mewawancarai seniorku di kampus. Hasil wawancara tersebut akan digunakan sebagai salah satu pengisi halaman di majalah departemen Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya Lingkungan (dulunya Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan) IPB, yaitu Maroon Magazine.

Aku bersyukur direkrut menjadi bagian dari majalah ini karena aku bisa bertemu dan berbincang langsung dengan tokoh-tokoh yang cukup expert di bidangnya. Sebut saja Pak Yusman Syaukat yang notabene adalah Dekan Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB dan Kak Deanty (seniorku) yang sering lalu-lalang ke luar negeri mewakili kampus dan Indonesia.

Senang rasanya bisa bertatap muka langsung dengan beliau-beliau yang telah banyak makan asam garam kehidupan. Senang pula rasanya saat pertanyaan yang kubuat dengan hasil pemikiran sendiri dijawab oleh mereka. Kekanakan mungkin, tapi tidak salah juga jika aku berpikiran begitu. Aku bukanlah seorang reporter handal. Aku hanyalah seorang mahasiswi biasa yang senang menyelami dunia jurnalistik. Tidak ada orang yang pernah menyebutku sebagai seorang reporter, hanya diriku sendiri yang men-stereotype diriku begitu.

Banyak pelajaran inspiratif yang bisa kuambil dari kisah perjalanan Kak Deanty. Bahwa kita jangan pernah menyerah, terus berusaha, dan jangan pernah terlalu memusingkan perkataan negatif orang lain.

Usia muda adalah masa emas. Kita dapat mencoba semua hal baru tanpa perlu memusingkan kegagalan. Kegagalan itu wajar jika dialami sekarang karena kita bisa bangkit dan mencoba lagi. Masih banyak waktu untuk memperbaiki diri. Akan tetapi, jika usia tua itu sudah datang maka tidak ada waktu lagi untuk mencoba karena tinggal mendalami dan mewarisi saja.

Minggu, 13 April 2014

"Kepingan Kedua"



Melanjutkan kisah yang tadi malam aku posting. Kali ini aku akan menceritakan tentang beberapa teman lainnya.

Fahmi. Teman pertama di SMA yang meminta bantuanku untuk mencomblanginya dengan Rara. Kebetulan aku dan Rara berasal dari SMP yang sama. Itulah alasan Fahmi meminta bantuanku. Aku sih tak keberatan asal ada pajak jadiannya saja.

Dengan taktik yang kupunya akhirnya mereka berdua jadian dan aku mendapat bonus atas kinerjaku. Mungkin awal kedekatanku dengan Fahmi karena ajang mak comblang ini.

Sayangnya, hubungan mereka tidak berjalan lama dan lancar. Rara memutuskan Fahmi secara sepihak dengan alasan saudaranya yang sakit. Tapi sesungguhnya bukan itulah alasan yang sebenarnya. Rara memang tidak pernah menyukai Fahmi.

Hubungan mereka yang tidak bertahan lama itu membuat Fahmi patah hati. Akhirnya Fahmi menumpahkan seluruh rasa sakit hatinya padaku hampir setiap hari. Kedekatanku dan Fahmi ternyata menjadi boomerang antara hubungan dia dengan teman sebangkunya, Alfi, yang ternyata menyimpan rasa padaku.

Alfi yang merasa kalau Fahmi tahu tentang perasaannya padaku, tapi tetap tidak menjaga jarak denganku akhirnya memusuhi Fahmi dan menyebutnya “penikung” (read: orang yang merebut gebetan sahabatnya). Ditambah lagi dengan teman-teman lain yang tidak suka dengan sifat Fahmi yang sombong akhirnya juga memusuhinya. Aku orang yang bersifat netral kembali menjadi teman terbaik untuk Fahmi (read: menurutku sih).

Lupakan cerita tentang Fahmi karena kali ini kita akan berpindah ke Alfi.

Kesan pertamaku mengenai Alfi adalah dia menyebalkan. Karena di hari pertama sekolah dia membentakku, tapi saat aku klarifikasi langsung padanya dia merasa tidak membentakku bahkan dia lupa kejadian itu.

Dia sangat menyukai graffiti dan merupakan anak basket. Cukup pintar untuk ukuran rata-rata kelasku dan bertubuh gempal. Tapi dia memiliki sifat baik hati, perhatian, dan menyenangkan. Untuk menjadi seorang teman, dia merupakan paket komplit. Sayangnya, dia menginginkan lebih. Aku yang memang dari awal sudah terpaku pada Jason tidak bisa dengan mudah memberi ruang untuk yang lainnya.

Lagipula Alfi tidak pernah menembakku, dia hanya menyatakan perasaannya melalui SMS. Itu sebabnya dia tidak pernah kutolak karena dia hanya menyatakan bukan menanyakan.

Miris memang hanya karena hal ini pertemanan kami sampai detik ini berada di ujung tanduk. Bahkan dia sangat membenciku, apalagi dengan kedekatanku dengan Fahmi yang bisa dibilang lebih dari seorang teman padahal bukan itu yang sebenarnya.

Dia merasa ditusuk dari belakang, tapi ketahuilah bahwa ini bukan karena Fahmi. Ini karena hatiku yang memang sudah terukir nama Jason. Dia hanya terlambat mengetuk pintu hatiku. Ini hanya masalah waktu.

Apalagi yang aku tahu, Alfi sudah memiliki seorang kekasih di Jakarta yang notabene adalah saudaranya sendiri. Lalu untuk apa dia memendam rasa itu untukku? Apa itu hanya taktiknya untuk membuatku cemburu? Sayangnya tidak berhasil, malah membuatku kehilangan kepercayaan padanya. Dia merusak imagenya sendiri.

Kepingan masa laluku tak berhenti di sini karena masih banyak lagi kepingan masa lalu yang hendak kutulis. Stay tune, guys (:

(PS: Cerita ini bisa fiksi ataupun non-fiksi. Bisa diselidiki keaslian cerita dengan bertanya langsung pada para tokohnya. Terimakasih)

Sabtu, 12 April 2014

"Kepingan Pertama"



Aku kira kisah cintaku akan seindah di film-film atau paling tidak ftv (read: drama murahan dan monoton yang hampir setiap hari menghiasi layar kaca). Bertemu, berantem, dan jatuh cinta. Aku kira sesimple itu, tapi nyatanya tidak.

Kisah cintaku sangatlah rumit. Bukan tipikal kisah cinta anak SMA pada umumnya. Apalagi kisah cinta anak SMP yang masih bau kencur.

Berawal dari aku mendaftar di sekolah menengah atas yang cukup terkemuka di daerah asalku. Aku mendaftar ke sana bukan karena memang tertarik, tapi karena mengikuti jejak saudara perempuanku. Terserah kalau kalian menyebutku “copycat”.

Seperti anak baru pada umumnya, aku juga berdandan cupu (read: memang sudah cupu dari dulunya sih). Seragam kebesaran, rambut sisir rapi, peralatan sekolah yang masih bau toko, dan kacamata yang bertengger manis di hidungku. Bukan untuk mempertegas ke-cupu-anku, tapi karena aku memang bermata minus.

Aku berdiri kaku di depan mading sekolahku di hari pertama MOS (read: ajang penyiksaan bagi murid baru oleh senior mereka). Tapi syukurnya sekolahku berbeda, mungkin saat ini sekolah-sekolah lain juga begitu.

Kegiatan MOSku berjalan biasa saja karena memang tidak ada yang spesial. Lalu, di hari terakhir, wakil kepala sekolah bagian kesiswaan membacakan pembagian kelas untuk murid baru. Aku kebagian di kelas dua terakhir untuk kelas X, yaitu X-9. Sialnya, hanya aku satu-satunya dari kelompok MOSku yang kebagian di kelas itu. Ya, mungkin karena aku berada di kelompok satu saat itu (read: kelompok yang isinya NIM-NIM tertinggi saat penerimaan siswa baru kemarin). Apakah aku anak yang terbuang? Menyedihkan.

Hari pertama sekolah aku berkenalan dengan teman sebangku dan dua orang yang duduk di depanku. Kebetulan aku duduk dua dari depan, yah cukup ideal untuk tubuhku yang kurang tinggi (read: pendek). Teman sebangkuku anaknya pendiam dan kurang asik untuk diajak bercanda, pada awalnya. Karena belakangan baru aku tahu kalau dia cukup cerewet. Sedangkan, dua temanku yang lain sudah cerewet saat pertama kali berkenalan. Yah, walau satu di antara mereka sedang galau berat saat itu. Sebut saja ketiga teman baruku itu Sri (teman sebangku), Lidya (cerewet), dan Henny (galau berat). Sejak hari itu, kami selalu bersama. Dari kantin sampai kamar mandi. Hingga akhirnya kami dijuluki, Teletubbies.

Teman baikku bukan hanya mereka karena aku juga berkenalan dengan yang lainnya. Yara, orang yang duduk di sebelah kiriku. Bangku kami terpisah oleh jalan karena kami berada di barisan meja yang berbeda. Perkenalan kami cukup unik karena dia menanyakan namaku lalu menanyakan username akun facebookku. Entah untuk apa, tapi aku berbaik hati memberi tahunya.

Teman sebangku Yara adalah Mira, biasa dipanggil Ia. Anaknya cukup pendiam dan introvert (read: itu kesan pertamaku, tapi bahkan hingga kelas X berakhir). Jadi, aku hanya cukup dekat dengan Yara saja.

Cukup berkenalan dengan teman-temanku karena aku akan mulai menceritakan tentang seseorang yang lain. Jason. Dia tidak menonjol di kelas karena memang dia bukan tipikal orang yang suka show off.

Aku mulai memperhatikannya sejak kelas olahraga pertama di kelas X. Saat dia sedang melakukan beberapa langkah “start” sebelum berlari. Aku berada di tempat yang salah karena aku duduk tepat di depan serong kanannya. Sehingga aku bisa dengan jelas memperhatikan seluruh sudut wajahnya. Ada satu bagian dari dirinya yang membuat mata, hati, dan pikiranku terkunci seketika. Mata coklatnya. Mata yang mampu membuatku merindukannya berbulan-bulan. Mata yang membuatku tak bisa menerima pemberian cinta dari orang lain karena aku hanya mengharapkannya.

Sejak hari itu, aku tak pernah berani mengajaknya bicara. Aku takut dia tahu tentang perasaan ini. Sejak saat itu pula, aku resmi menyandang title “secret admirer”.

Kisah cintaku tidak berhenti di situ karena masih banyak lagi kepingan-kepingan lain yang akan aku ceritakan di sini. Tunggu sekuelnya ya (:

(PS: Cerita ini bisa fiksi ataupun non-fiksi. Bisa diselidiki keaslian cerita dengan bertanya langsung pada para tokohnya. Terimakasih)

Minggu, 06 April 2014

"Marahkah kau, wahai Hujan?"



Marahkah kau padaku wahai hujan? Mengapa tatapanmu menusukku begitu dalam? Adakah aku berbuat salah padamu?

Aku tidak tahu apa yang merasukimu hingga kau berubah sedrastis ini. Apakah karena tanah kering di kota lain itu? Begitu menyenangkannyakah dia hingga kau melupakanku?

Hujan. Sudah lama aku tak melihatmu. Haruskah kau berlaku seperti itu di hadapanku? Bahagiakah kau telah menyakiti si tanah kering kesepian ini?

Hujan. Haruskah aku kembali mengadu pada angin? Atau, haruskah aku mulai menyayangi angin? Apa memang itu yang kau inginkan?

Hujan. Aku tak sampai hati bila harus meninggalkanmu. Biarlah kau yang beranjak pergi dahulu. Mungkin suatu saat nanti aku akan melakukan hal yang sama denganmu. Tapi saat ini, aku belum hendak menguapkan seluruh perasaan bodoh ini. Jadi, tetaplah menjadi penopangku, bersabarlah.

Somewhere, 4 April 2014

Rabu, 02 April 2014

"Tanah Kering yang Kesepian"


Source: dedilinks.blogspot.com


Hujan sedang apa kau di sana? Sudahkah angin menyampaikan pesan cintaku untukmu? Ke mana saja kau? Aku sudah menunggumu berhari-hari di sini. Menanti kabar darimu yang tak kunjung datang. Lupakah kau padaku? Si tanah kering yang selalu membutuhkan asupan kasih sayang darimu?

Hujan. Ingatkah kau akan kebersamaan kita? Saat air dinginmu menyambangi pori-pori kulitku dan memenuhi lapisan-lapisan tubuhku. Bantu aku membuat para manusia itu senang. Tanpamu aku takkan pernah bisa menumbuhkan pepohonan.

Hujan. Kapan terakhir kali kita bercengkrama? Ingatkah kau? Karena aku sudah lupa. Rasanya sudah berabad-abad yang lalu kau menghampiri kediamanku. Ataukah kau sudah lupa jalan menuju si tanah kering yang kesepian ini?

Kudengar dari angin bahwa kau sedang sibuk membasahi tanah kering di kota lain. Benarkah itu? Apakah tanah kering itu juga sama kesepiannya denganku hingga kau berbaik hati terus menemaninya? Jujur saja, hatiku sakit saat mendengar pengakuan dari angin. Karena kukira, hanya akulah si tanah kering yang mampu melengkapi kesempurnaanmu. Karena kukira, hanya aku si tanah kering yang berarti di hidupmu.