Aku kira kisah cintaku akan seindah di film-film
atau paling tidak ftv (read: drama murahan dan monoton yang hampir setiap hari
menghiasi layar kaca). Bertemu, berantem, dan jatuh cinta. Aku kira sesimple
itu, tapi nyatanya tidak.
Kisah cintaku sangatlah rumit. Bukan tipikal kisah
cinta anak SMA pada umumnya. Apalagi kisah cinta anak SMP yang masih bau
kencur.
Berawal dari aku mendaftar di sekolah menengah atas yang cukup terkemuka di daerah asalku. Aku mendaftar ke sana bukan
karena memang tertarik, tapi karena mengikuti jejak saudara perempuanku.
Terserah kalau kalian menyebutku “copycat”.
Seperti anak baru pada umumnya, aku juga berdandan
cupu (read: memang sudah cupu dari dulunya sih). Seragam kebesaran, rambut
sisir rapi, peralatan sekolah yang masih bau toko, dan kacamata yang bertengger
manis di hidungku. Bukan untuk mempertegas ke-cupu-anku, tapi karena aku memang
bermata minus.
Aku berdiri kaku di depan mading sekolahku di hari
pertama MOS (read: ajang penyiksaan bagi murid baru oleh senior mereka). Tapi
syukurnya sekolahku berbeda, mungkin saat ini sekolah-sekolah lain juga begitu.
Kegiatan MOSku berjalan biasa saja karena memang
tidak ada yang spesial. Lalu, di hari terakhir, wakil kepala sekolah bagian
kesiswaan membacakan pembagian kelas untuk murid baru. Aku kebagian di kelas
dua terakhir untuk kelas X, yaitu X-9. Sialnya, hanya aku satu-satunya dari
kelompok MOSku yang kebagian di kelas itu. Ya, mungkin karena aku berada di
kelompok satu saat itu (read: kelompok yang isinya NIM-NIM tertinggi saat
penerimaan siswa baru kemarin). Apakah aku anak yang terbuang? Menyedihkan.
Hari pertama sekolah aku berkenalan dengan teman
sebangku dan dua orang yang duduk di depanku. Kebetulan aku duduk dua dari
depan, yah cukup ideal untuk tubuhku yang kurang tinggi (read: pendek). Teman sebangkuku
anaknya pendiam dan kurang asik untuk diajak bercanda, pada awalnya. Karena
belakangan baru aku tahu kalau dia cukup cerewet. Sedangkan, dua temanku yang
lain sudah cerewet saat pertama kali berkenalan. Yah, walau satu di antara
mereka sedang galau berat saat itu. Sebut saja ketiga teman baruku itu Sri
(teman sebangku), Lidya (cerewet), dan Henny (galau berat). Sejak hari itu,
kami selalu bersama. Dari kantin sampai kamar mandi. Hingga akhirnya kami
dijuluki, Teletubbies.
Teman baikku bukan hanya mereka karena aku juga
berkenalan dengan yang lainnya. Yara, orang yang duduk di sebelah kiriku. Bangku
kami terpisah oleh jalan karena kami berada di barisan meja yang berbeda.
Perkenalan kami cukup unik karena dia menanyakan namaku lalu menanyakan
username akun facebookku. Entah untuk apa, tapi aku berbaik hati memberi
tahunya.
Teman sebangku Yara adalah Mira, biasa dipanggil Ia.
Anaknya cukup pendiam dan introvert (read: itu kesan pertamaku, tapi bahkan
hingga kelas X berakhir). Jadi, aku hanya cukup dekat dengan Yara saja.
Cukup berkenalan dengan teman-temanku karena aku
akan mulai menceritakan tentang seseorang yang lain. Jason. Dia tidak menonjol
di kelas karena memang dia bukan tipikal orang yang suka show off.
Aku mulai memperhatikannya sejak kelas olahraga pertama
di kelas X. Saat dia sedang melakukan beberapa langkah “start” sebelum berlari.
Aku berada di tempat yang salah karena aku duduk tepat di depan serong
kanannya. Sehingga aku bisa dengan jelas memperhatikan seluruh sudut wajahnya. Ada
satu bagian dari dirinya yang membuat mata, hati, dan pikiranku terkunci
seketika. Mata coklatnya. Mata yang mampu membuatku merindukannya
berbulan-bulan. Mata yang membuatku tak bisa menerima pemberian cinta dari
orang lain karena aku hanya mengharapkannya.
Sejak hari itu, aku tak pernah berani mengajaknya
bicara. Aku takut dia tahu tentang perasaan ini. Sejak saat itu pula, aku resmi
menyandang title “secret admirer”.
Kisah cintaku tidak berhenti di situ karena masih
banyak lagi kepingan-kepingan lain yang akan aku ceritakan di sini. Tunggu
sekuelnya ya (:
(PS: Cerita ini bisa fiksi ataupun non-fiksi. Bisa
diselidiki keaslian cerita dengan bertanya langsung pada para tokohnya.
Terimakasih)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar