Sekian lama berjibaku dengan rasa kangen akhirnya
bulan depan akan terluapkan juga. Finally, I can hug my mom, dad, sister, and
younger brother including my besties. Guys, I really miss you all. Nothing can
describe what I feel now!
Mungkin kalian heran kenapa aku masih suka nangis
karena kangen rumah, padahal aku udah dua tahun lebih di Bogor dan toh setiap
liburan pulang ke rumah. Tapi jujur aku sendiri juga gak tahu kenapa, karena
makin ke sini makin suka kangen rumah. Apalagi ngelihat teman-teman lain yang
bisa pulang ke rumah saat weekend. Rasanya itu nyesek banget, ngeliatin
foto-foto mereka bareng keluarga di instragram atau medsos lainnya, ngedenger
cerita mereka yang habis jalan-jalan atau sekedar makan di luar bareng
keluarga, saakiiiittt banget! Aku suka mikir, kenapa aku gak bisa kayak mereka?
Ketika kangen rumah yah tinggal pulang aja, gak perlu nunggu liburan dulu yang
otomatis harus ngelewatin UAS dulu!
Temanku pernah menjawab ketika aku tanya pertanyaan
di atas ke dia, “Kalau gitu kenapa gak kuliah di Medan aja? Ini namanya resiko!
Kalau gak kuat yaa kenapa kemaren milih Bogor?”
Dan rasanya ketika mendengar jawaban dia itu JLEEBB
banget! Aku jadi berpikir, iya juga. Kenapa kemaren milih Bogor kalau emang gak
kuat jauh dari rumah?
Beberapa hari lalu aku juga pernah diskusi sama
teman di departemen, kami saling share tentang keluarga. Dia bilang, dia dulu
disuruh kedua orang tuanya untuk masuk STIS dan aku dulu pernah ditawarin masuk
ekonomi. Aku dan dia merasa senasib sepenanggungan. Yah, mungkin aku hanya “ditawarin”
dan dia “disaranin”. Jadilah, aku dan dia memilih apa yang telah ditawarkan dan
disarankan kedua orang tua kami. Hasilnya, dia gagal di STIS karena memang
bukan passionnya, sedangkan aku lulus di ekonomi yang sejujurnya dari awal
bukanlah passionku. Temanku yang gagal STIS akhirnya memilih ekonomi karena dia
memang suka bisnis, sedangkan aku yang lulus di ekonomi sampai detik ini
terkadang merasa terdampar di pulau terpencil tanpa cahaya atau sekedar
makanan.
Dia bilang, kenapa aku mau masuk ekonomi kalau
memang bukan passionku? Aku bilang yaah namanya anak, bukankah sudah kewajiban
harus mendengar saran dari orang tua, toh yang penting aku lulus dan bisa
kuliah. Lalu dia berkata, “seharusnya dulu kamu gak usah dengerin mereka, ini
hidup kamu. Harusnya kamu tetap fokus sama passion kamu. Kamu suka nulis kan?
Masuk sastra kalau gitu!” Jujur, aku sempat terdiam mendengar perkataannya.
Tanpa disadari, otakku langsung berkata, “sekarang udah lulus terus apa? Mau
banggain orang tua kan? Tapi kok masih suka ngeluh? Harusnya ikhlas dong!”
Yah, awalnya mungkin aku dan dia senasib, sama-sama
mencoba untuk memilih apa yang telah dipilihkan orang tua, tapi hasilnya
berbeda. Dia gagal, tapi akhirnya bisa memilih apa yang dia suka dan merasa
bahagia walau awalnya didiamkan kedua orang tuanya beberapa hari karena
hasilnya tidak sesuai dengan keinginan mereka. Sedangkan aku diterima dan masih
terkungkung dengan itu semua. Masih meraba-raba ekonomi itu apa, masih mencoba
menyukai ekonomi, yah mau mundur juga percuma. Mungkin malah lebih fatal
akibatnya, aku hanya berharap semoga semua usaha dan tetes keringatku akan
menghasilkan sesuatu kelak! Aamiin.
Lagian, kalau aku kemaren gak mengambil ekonomi, aku
gak akan bertemu dengan teman-teman hebat seperti mereka. Teman-teman yang
sampai sekarang jadi salah satu alasan kenapa aku masih bertahan di sini,
teman-teman yang sering bilang aku bocah, teman-teman yang gak marah walau aku
berbuat salah, teman-teman yang mencoba memahamiku walau terkadang aku sendiri
gak paham dengan diriku, teman-teman yang akan selalu menjadi temanku walau
gelar itu sudah aku dan mereka dapatkan ({})
Guys, I love you! ESL49, Greenpreneur!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar