Selasa, 16 September 2014

Tanah Kering Si Pujangga



Hujan tak pernah lagi menyapaku, si tanah kering yang kesepian.
Hanya angin yang kian sering berhembus hingga kerap menggugurkan dedaunan tiada henti.
Semakin ku merasa tertinggal jauh olehmu, wahai hujan.
Seperti inikah sakitnya menjadi seorang pemuja rahasia?

Sabtu, 13 September 2014

Naik Kelas



Belum beruntung ternyata, yah sudahlah. Mungkin giveaway selanjutnya aku akan berhasil. Berdoa saja. Walau sebenarnya aku sangat menginginkan foto itu.

Aku sudah berusaha mengukir kalimat dalam bahasa Inggris padahal yah kalian tahu sendirilah bagaimana kemampuanku dalam bahasa asing itu. Setidaknya aku bersikap jujur dengan tidak mengatakan hal yang berlebihan. Jadi, aku tidak begitu merasa sedih.

Aku bangga pada diriku karena telah memberikan “selamat” kepada mereka. Seperti yang telah aku jelaskan bahwa sebenarnya aku sangat menginginkan hadiah itu, jadi wajar saja misalnya aku marah dan kesal. Tapi aku mampu dengan berbesar hati menerima kekalahanku dan mengakui kemenangan mereka.

Tersenyum adalah langkah yang telah kuambil sesaat setelah kulihat hasilnya. Seperti itulah yang seharusnya terjadi. Karena kekalahan adalah kemenangan yang tertunda, bukan?

Aku rasa aku naik kelas “kehidupan” hari ini ><4

Jumat, 12 September 2014

Langkah Kecil untuk Mimpi yang Besar

Hari ini aku mendapat pencerahan mengenai social media. Pencerahan yang seperti apa?
       
Baik, aku akan mulai bercerita.
Pagi ini diawali dengan kuliah Ekonomi Perikanan di Ruang Audit PAU. Tidak, cerita kali ini tidak ada hubungannya sama sekali dengan mata kuliah Ekoperik.

Komti ESL 49 seperti kesal bukan main saat dia mengatakan bahwa hampir saja dia meng”unfollow” aku di twitter disebabkan oleh kesukaanku terhadap KPOP. Aku akui bahwa ketika aku sedang online, maka hampir semua berita mengenai idola yang aku suka akan aku RT. Jadi, tidak heran jika hampir 20 kali RT yang kulakukan dalam sekali waktu akan membuat para followersku geram.

Aku sadar, tapi nyatanya tetap saja kulakukan. Ini gerak refleks namanya huhu

Dia menyadarkanku bahwa benar social media itu adalah sarana untuk menuangkan perasaan, dan lain sebagainya, tapi tetap saja harus menjunjung “kode etik” dalam persocialmedian (maafkan bahasanya) ><

Bahkan dia tahu mengenai kejadian kecelakaan mobil yang terjadi pada Ladies Code, girlband asal Korea Selatan beberapa waktu yang lalu tersebut. Dia pun sampai menyebutkan nama salah satu member yang meninggal.

Hal ini menyadarkanku bahwa bukan hanya dia saja yang telah kurugikan mengenai hal ini, tetapi juga beberapa nama yang telah rela mengikutiku di twitter. Mulai saat ini, aku tidak akan meRT hal-hal seperti itu lagi melainkan hanya akan menjadi konsumsi pribadiku saja. Perubahan yang luar biasa, bukan?

Lalu, dosen mata kuliah Ekonomi Perikanan, beliau juga menyadarkanku bahwa betapa pentingnya sebagai mahasiswa untuk membuat sebuah PKM. Bukan mahasiswa namanya jika belum pernah sekalipun membuat sebuah PKM. Karena begitu pentingnya sebuah PKM, maka dia menganjurkan kami untuk segera membuat kelompok PKM. Bahkan dia menyarankan beberapa ide PKM agar kami, esl 49, terpacu.

Penjelasan beliau memacu aku untuk membuat sebuah PKM, tapi masih dalam proses perundingan dengan temanku. Berdoa saja semoga semuanya lancar dan rencana ini dapat berjalan dengan baik, aamiin ><

Hal terakhir adalah mengenai mata kuliah PKP, entah mengapa kuliah hari ini begitu menyenangkan bagiku. Banyak informasi seputar pertanian, ekonomi, dan lain sebagainya yang beliau beberkan kepada kami. Terutama segala permasalahan dan sistem yang masih carut marut saat ini. Hal ini membuatku sangat ingin membuat sebuah kultweet.

Hanya saja aku sadar betapa masih terbatasnya pengetahuanku mengenai hal-hal tersebut. Alasannya karena aku malas membaca koran, aku malas menonton berita, aku malas mendengar pembicaraan ataupun diskusi mengenai politik, dan lain sebagainya.

Aku sangat ingin menjadi beberapa dari mereka yang tulisannya sering dimuat di koran dan mereka yang buah pikirannya sangat ditunggu oleh masyarakat. Aku sering bertanya, “Kapan aku bisa berada di posisi mereka?”

Aku tahu banyak kesempatan dan peluang yang telah diberikan padaku, tapi akhirnya aku sia-siakan begitu saja. Contoh: saat aku menjadi panitia di Kompas Saba Kampus. Aku bertemu langsung dengan Mas Ingki Rinaldi, salah satu reporter handal di Kompas. Bahkan aku ditunjuk sebagai LO beliau, tapi nyatanya aku tidak berani dan minta diganti dengan panitia yang lain. Nyaliku terlalu kecil.

Padahal jika saja saat itu aku berani mengobrol dengan beliau, maka link kerjaku tak akan sesempit ini. Peluangku untuk menjadi seorang penulis tidak akan sedangkal ini.

Lalu, ketika aku diterima sebagai seorang reporter magang di Koran Kampus IPB. Benar tulisanku masih banyak kekurangan di sana-sini, tapi salah seorang senior yang saat itu menjabat sebagai pemimpin redaksi telah memuji tulisanku. Walau tulisanku lebih sering dia bongkar habis karena masih terlalu bertele-tele dan belum berbentuk seperti sebuah artikel penuh wawasan, tapi setidaknya dia menghargai dan mengatakan bahwa itu sudah bagus.

Dia memberiku banyak arahan dan kepercayaan bahwa aku bisa menulis, tapi pada akhirnya aku keluar juga. Aku merasa kalau bakatku bukanlah sebagai seorang jurnalis, aku hanya suka menulis, tapi bukan tentang hal itu. Aku berpikir bahwa mengukir sebuah kalimat untuk menjadi sebuah artikel penuh intrik adalah hal yang bukan passionku. Hal itu begitu sulit untuk kujalani, hingga akhirnya aku bergabung ke dalam sebuah tim redaksi majalah departemen, Maroon.

Tulisanku memang langsung dimuat di sana, tanpa melewati sebuah proses editing yang ketat seperti waktu di Korpus dulu, tapi justru hal itulah yang membuatku kecewa. Aku menginginkan sebuah penilaian dan koreksi atas apa yang telah aku hasilkan.

Saat ini, aku merasa malu atas tulisanku yang telah dimuat karena aku masih terlalu mentah untuk dipercayai sebagai seorang reporter atau bisa jadi ini adalah sebuah langkah kecilku untuk mewujudkan mimpi besarku menjadi seorang reporter ><

Minggu, 31 Agustus 2014

[FIRST PART] 24 Agustus 2014 :)



24 Agustus 2014, aku berada di atas awan sendirian tanpa seorang pun yang dikenal. Terbang dari Medan menuju Jakarta. Seperti anak hilang menggeret-geret koper besar berwarna biru sendirian sepanjang Soetta International Airport.

            Sebelumnya aku ingin bercerita dulu kejadian sebelum tanggal 24 Agustus 2014. Beberapa hari sebelum aku balik ke Bogor aku merasa sedih, bahkan tak jarang diam-diam menitikkan air mata. Aku selalu menangis saat melihat wajah kedua orang tuaku. Entah kenapa rasanya masih berat saat meninggalkan mereka. Walau ketika aku di rumah tak jarang mereka mengomeliku sampai aku kesal sendiri dan selalu terbersit rasa ingin cepat-cepat balik ke Bogor karena di sana tidak ada mereka yang mengomeliku -___- (anak durhaka)

            Nyatanya, H-1 aku mulai bertanya-tanya dalam hati, Mengapa rasanya waktu cepat sekali berlalu? Bukankah baru kemarin aku mendarat di Medan? Kenapa sekarang udah harus terbang lagi ke Jakarta?

            Dan akhirnya aku tidak bisa tidur hingga jam 4 pagi! Padahal jam setengah 5 pagi aku sudah harus siap-siap untuk berangkat ke Kualanamu. Yah, tidur setengah jam sedikit menolong rasa takut dan khawatirku. Sepanjang malam aku menggigil kedinginan, entah kenapa tiba-tiba rasanya suhu di kamarku turun drastis, membuatku tak mampu memejamkan mata dan hanya bisa menggigil dan memainkan gadget saja.

            Saat di bandara, aku masih mampu tersenyum dengan terus membayangkan liburanku ke Jogja esok harinya. Ya, aku sesegera mungkin balik ke Bogor karena aku masih hendak liburan bersama teman-teman kosanku.

            Tapi akhirnya, air mataku luruh juga saat berada di depan gate menuju ruang boarding pass. Saat itu aku sudah pamit dengan keluarga, sebelumnya aku telah bertekad untuk tidak membalik badan saat sudah berpamitan, nyatanya aku langsung berbalik badan dan menangis sambil memeluk mama. Cengeng? Iyaaaa, itu aku!

            Kami terdiam cukup lama di depan gate boarding pass sambil menunggui air mataku berhenti mengalir. Tapi aku tidak menangis sendirian, di belakang mama ternyata ada sebuah keluarga yang anak gadisnya juga sedang menangis sambil memeluk orang tuanya. Mungkin dia bernasib sama denganku.

            Tuhkan, masih manusiawi bukan?

            Akhirnya, mama memberiku sebungkus tisu untuk berjaga-jaga. Setelah itu, aku kembali berpamitan dan langsung maju jalan tanpa menoleh ke belakang lagi. Takut nangis lagi (dasar cengeng!)

            Saat di ruang boarding pass, aku tidak tahu lagi bagaimana bentuk wajahku. Tidak beraturan, mungkin. Acak kadut -____-

            Akhirnya, aku naik pesawat dan seperti anak hilang. Duduk sendirian di pesawat tanpa seorang pun yang kukenal.

            Sesampainya di Soetta, aku menghela napas. Yah, di sinilah aku sekarang! Tidak lagi di rumah nyaman yang telah kutinggali beberapa tahun belakangan ini. Tidak ada lagi Mama yang siap memasak untukku setiap saat, tidak ada lagi Papa yang bisa melindungiku, tidak ada lagi Kak Sari yang rela kurepotkan setiap saat dengan tingkah konyolku, dan tidak ada lagi Dika yang selalu sabar kumarah-marahi dengan berbagai alasan.

            Sendirian. Itulah kondisi yang harus kusandang setiap menginjakkan kaki di Soetta hingga kembali ke Kota Medan.

            Aku berjalan sendirian menuju tempat pengambilan bagasi, lalu menggeret-geret koper sendirian menuju halte Damri, dan akhirnya naik ke Damri dengan sibuk menghubungi travel yang biasa kusewa.

            Endingnya? Travelnya tidak jadi menjemputku karena bapaknya sedang sakit dan aku panik di atas Damri. Mau naik apa aku dari terminal Baranangsiang ke kosan dengan koper sebesar itu?

            Alhasil aku nanya-nanya ke teman-teman di kosan yang lebih paham mengenai hal beginian. Aku tahu jalan, hanya saja terganjal di koper. Ketika telah bertekad akan naik Transpak, ternyata ada taksi yang menawarkan jasanya padaku. Ya sudahlah ya, walau mahal yang penting aku sampai di kosan. Badanku juga sudah pegal-pegal semua. Memangnya enak apa duduk kaku di atas pesawat selama dua jam lebih ditambah dengan duduk manis di Damri selama 2 jam (kurang lebih)?

            Yaaa, begitulah kisah hingga akhirnya aku sampai dengan utuh dan selamat di kosan dari bandara. Ini pertama kalinya aku pulang sendirian dari bandara ke kosan, ditambah lagi dengan bapak travel yang tidak jadi menjemput. Cobaan banget -____-

            Next postingan aku bakal ngepost tentang perjalananku dengan teman-temanku ke Jogja. Wait yaaaaaa! :)