Assalamualaikum.
Seperti
biasa, kehidupanku di asrama tidak mungkin bisa berlangsung damai walau hanya untuk sehari. Buktinya, semalam ada kejadian
mengejutkan lagi yang terjadi. Temanku dihubungi oleh orang yang tak dikenal
yang mengaku sebagai Customer Service sebuah provider ternama di Indonesia. Awal
kejadiannya aku tidak begitu tahu karena saat itu aku sedang terlelap. Detail
kejadiannya akan aku ceritakan di paragraf selanjutnya.
Saat aku sedang asyik-asyiknya bergulat
dengan mimpiku, sayup-sayup kudengar suara Kiki dan Ika sedang mengobrol
disertai suara ngebass dari speaker handphone. Suara lelaki. Aku bingung, apa
yang sedang terjadi? Mengapa mereka berdua berisik sekali? Kubalikkan badanku
ke kanan hingga menghadap ke arah mereka berdua. Aku dihinggapi rasa penasaran,
ada apa ini?
Perlahan kubuka mataku dan
kutajamkan pendengaranku. Tak mau ketinggalan satu kata pun yang mereka
ucapkan. Semakin kudengar obrolan mereka, semakin pahamlah aku apa yang sedang
terjadi.
Lelaki itu bertanya pada temanku
apakah temanku mau menerima doorprize
sebesar 15 juta dari provider tempat dia bekerja. Kalau mau katakan “mau” dan
kalau tidak katakan “tidak”. Dari awal mendengar pembicaraan mereka, aku sudah
tertawa. Masih saja ada penipuan seperti ini. Entah mengapa feelingku langsung
berkata bahwa ini semua adalah penipuan. Mungkin karena aku orangnya terlalu
curigaan atau entah terlalu waspada.
Sayangnya temanku terlalu polos, dia
masih saja mau meladeni obrolan tidak penting itu. Bahkan sedikit terlihat
bahwa dia tergoda, andai saja aku tidak bangun, entah apa yang akan terjadi.
Untung saja temanku tidak langsung memberikan nomor rekeningnya. Jika dia sudah
memberikannya, hanya akan tersisa penyesalan yang mendalam. Aku bukan sok menjadi
pahlawan atau apa, tapi aku sedikit banyak membantu mereka berdua menganalisis
setiap pernyataan dan jawaban yang dilontarkan oleh oknum penipu itu.
Aku bertanya pada orang itu, “Atas
dasar apa temanku mendapat doorprize?”
Dia menjawab, “Tidak atas dasar
apa-apa. Hanya karena saudari Kiki memiliki nomor ******** (suatu provider
ternama).”
Refleks aku mencibir. Dia gila atau
apa, 15 juta itu duit dan dia hanya memberikannya secara percuma. Jawaban yang
dia berikan padaku tak lantas membuatku puas.
Tiba-tiba, Ika melontarkan pertanyaan padanya, “Boleh tidak
kalau Kiki bertanya dulu pada orang tuanya?” Aku bingung, apa Ika juga mulai
tergoda?
Akan tetapi, jawaban yang lelaki itu lontarkan semakin
menguatkan kecurigaanku padanya. Dia menjawab, “Tidak bisa. Harus sekarang
dijawab. Mau atau tidak? Tinggal jawab itu saja.” Terkesan memaksa bukan?
Aku tekankan kepada Kiki dan Ika bahwa itu adalah penipuan.
Karena jika memang dia berniat memberikan doorpize harusnya dia tidak memaksa
begitu. Dia tidak memberikan kita ruang untuk mencari kebenaran. Awalnya, Ika
hendak menelfon langsung CS resmi dari provider tersebut, karena si penipu ini
menelfon menggunakan nomor biasa, tapi oknum tersebut tidak memberikan izin.
Dia terus memaksa Kiki untuk menjawab, iya atau tidak.
Jujur aku kesal dengan Kiki. Apa susahnya bilang tidak?
Yang ada dia hanya terdiam dan mengunci rapat bibirnya. Hingga akhirnya, Ikalah
yang meladeni setiap pernyataan yang lelaki ini ucapkan.
Sampai akhirnya perseteruan mereka sudah mencapai klimaks
dan lelaki ini mulai tidak sabar, si Kiki tanpa berdosa mematikan sambungan
telefon. Aku terdiam. Mengapa dimatikan? Begitu pikirku. Apa susahnya bilang
TIDAK? Aku kesal sendiri. Jujur, bukan aku membela si penipu, tapi justru
semakin memperparah keadaan jika sambungan telefonnya dimatikan begitu saja.
Benar saja, tak lama kemudian si lelaki ini kembali
menelfon temanku sambil mencak-mencak. Dia menyebutkan semua kata-kata kasar,
telingaku panas mendengarnya.
Kubalas dia, “Setahu saya, seorang customer service tidak
mungkin berkata kasar. Apalagi CS sebuah provider ternama!”
Mungkin dia sudah sangat kesal menghadapi temanku yang
sangat bertele-tele atau karena temanku tidak termakan oleh tipuan murahannya,
dia kembali menyebutkan kata-kata kasar. Sungguh, sebagai seorang perempuan aku
sangat terhina sekali. Rasanya ingin kutampar mulut lelaki itu atau paling
tidak membalas semua kata-kata kasarnya, kalau tidak mengingat aku memiliki
agama. Kutahan dan kuredam amarahku, kulesakkan seluruh emosiku ke dalam
pikiranku yang masih mampu berfikir realistis, dan kutelan bulat-bulat semua
kata kasar yang tengah berada di ujung lidahku. Hingga akhirnya sambungan
telfon itu pun mati dan tak pernah berbunyi lagi.
Ruangan kamar kami lantas hening. Aku masih diliputi
amarah. Apa aku terlalu ikut campur dalam masalah temanku? Andai saja aku tidak
ikut campur, tidak mungkin aku kena imbas makian lelaki sialan itu. Akan tetapi,
jika aku diam saja, apa aku pantas disebut teman? Dilema.
Ah, sudahlah. Toh semua sudah terjadi juga. Waktu tidak
akan bisa diputar. Lagian, wajar saja lelaki itu marah. Selain karena dia gagal
menipu dan merasa tidak dihargai dengan telfonnya yang diputus secara tiba-tiba
dan sepihak, pulsanya juga mungkin sudah habis untuk menghubungi temanku dari
tadi.
Kejadian ini dijadikan pelajaran saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar